#Part-10#

51 8 2
                                    

"Terserah mau bagaimana kamu akan membenci saya. Tapi, ingatlah satu hal, Haidar. Ibumu saat ini menunggumu di rumah. Dia rindu kamu yang dulu selalu ada di rumah. Ya, saya memang tidak tahu bagaimana perihnya menjadi kamu. Tapi, ada banyak orang yang merasa iri dengan apa yang kamu miliki saat ini. Jangan egois untuk menghindar. Karena yang paling terluka akan kenyataan bukan kamu saja, tapi ibumu." Kata-kata itu terus saja berulang di dalam benaknya Haidar. Bahkan, di saat pembelajaran tadi pun dia tak pernah fokus untuk mendengarkan penjelasan gurunya. Hanya ada ingatan di mana Winara mengatakan kata-kata itu.

Jujur, untuk saat ini, Haidar benar-benar merasa ambigu dengan semuanya. Dia ingin mengikuti perkataan gadis itu, tapi dia tak tahan jika harus berlama di dalam rumah itu. Terutama bila ada pria itu, pria yang dia sebut sebagai ayah, namun tidak untuk sekarang.

"Ma, jujur Zidan sebenarnya ingin ketemu Mama, tapi Zidan gak berani, Ma. Zidan gak bisa liat Mama sedih kalau Zidan kaya gini. Udah banyak yang berbeda dari Zidan saat ini. Waktu semakin mengubah Zidan untuk menjadi orang yang lebih tertutup. Zidan anak kebanggaan Mama yang dulu, sekarang udah gak ada. Dia sudah menjadi sosok yang berbeda, Ma!" lirihnya di dalam hati. Bahkan, tak terasa jika butiran bening telah mengalir di pelupuk matanya.

Dengan sekali menancapkan gas motornya, Haidar menerobos jalanan yang terlihat sedikit ramai. Hanya dengan ini dia bisa melepaskan setiap bebannya. Bukan dia ingin menentang maut, tetapi dia benar-benar butuh suatu pelampiasan untuk saat ini.

Bahkan, lampu merah yang tengah menyala itupun dengan lancangnya dia trobos dengan begitu mulusnya.

Bruk!!!

Kecelakaan yang tanpa diduga itupun terjadi. Hiruk-pikuk keterkejutan pun menggema. Namun, tetesan darah yang mulai merajalela kini mulai membasahi sekujur kepala siswa itu. Dengan napas yang terperengah dia membuka paksa helmnya itu dan melemparkannya ke sembarangan arah, hingga terdampar ke seseorang yang saat itu tengah menghampirinya.

"Ma, Zidan minta maaf!" lirihnya di dalam hati. Dan di saat itu pula tubuhnya terasa semakin lemas dan pandangan yang semakin memburam secara tiba-tiba.

"Zidan!!!" teriak seseorang yang tadi. Dengan cepatnya, wanita itu berlari ke arah siswa yang kini telah menutup rapat matanya itu.

"Zidan! Nak, bangun! Kamu gak boleh gini, Sayang! Mama gak mau kehilangan kamu!" racau Syifa dengan begitu khawatir.

"Ambulance! Panggilkan Ambulance!" ucapnya kepada semua orang yang ada di sana. Dengan tidak henti-hentinya Syifa terus saya membangunkan putranya yang sudah tidak sadarkan diri itu.

Dan tidak lama kemudian, akhirnya Ambulance pun datang. Dengan segera para suster membawakan brankar untuk Haidar dan membopong tubuh siswa itu ke atas brankar. Lalu, membawanya ke dalam Ambulance dan menuju rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, tak henti-hentinya Syifa merapalkan doa untuk putranya itu, hingga dia lupa untuk mengatakan kabar ini kepada seseorang yang sudah membantunya selama ini.

Dengan perasaan yang kian menggebu, Syifa meraih ponselnya dan mencoba untuk menelepon seseorang.

Di lain sisi. Saat ini Winara baru saja pulang ke rumahnya. Namun, entah kenapa tiba-tiba perasaan tidak enak dia dapatkan. Dia terlihat begitu gelisah, namun sangat bingung dengan kegelisahan apa yang dia khawatirkan saat ini.

"Ra, ayo turun! Mama udah siapin makan siang, noh!" ucap Gabriella yang tiba-tiba saja datang dari balik pintu kamarnya Winara.

"Eh iya, bentar aku beres-beres dulu, ya!" ucap Winara seraya bangkit dari duduknya.

"Ok-"

Drt ... drt ... drt ...

Tiba-tiba saja ponselnya Winara bergetar di dalam saku roknya, membuat gadis itu terpaksa meronggoh ponselnya dan melihat siapa yang tengah meneleponnya saat ini. "Tante Syifa?" tanya Winara dengan heran. Namun, langsung saja dia angkat.

"Wa'alaikumussalam, Tante? Tante kenapa?" tanya Winara mulai panik.

"Ra, ada apa?" tanya Gabriella yang juga ikut khawatir.

"..."

Mendengar penjelasan di seberang telepon sana, seketika itu juga Winara terdiam membeku. Ini adalah kedua kalinya Winara begitu merasakan kecemasan yang luar biasa.

"Ra, ada apa?" tanya Gabriella sekali lagi. Namun, bukan jawaban yang Gabriella dapatkan, melainkan tangisan gadis itu.

Gabriella yang tak tahan, akhirnya dengan paksa merebut ponselnya Winara dan beralih untuk berbicara dengan orang si seberang sana.

"Hallo, maaf ini ada apa, ya? Kenapa teman saya bisa sampai nangis kaya gini?" tanya Gabriella tidak sabaran.

"..."

'Su-suara itu?' batin Gabriella.

"By, kita ke rumah sakit sekarang! Kamu siap-siap, cepat!" perintah Winara yang masih dengan isakannya. Gabriella yang masih dilanda rasa kebingungan itupun masih mencoba untuk menerka suara yang baru saja dia dengar. Namun, dengan silihnya waktu berganti, Gabriella langsung tersadar akan ucapan sahabatnya itu dan mengikuti sahabatnya yang sudah dahulu untuk keluar kamar dengan membawa kunci motornya, dan tak lupa Gabriella juga menyambar tasnya yang berada di atas kursi belajar Winara.

"Eh, Nara? Kamu mau ke mana, Nak? Loh, ini kenapa? Kok nangis kaya gini?" tanya Anara yang khawatir.

"Ma, Nara pamit sebentar, ya. Nara ada keperluan sebentar. Nara janji, Nara gak akan pulang malam. Please ya Ma, izinin Nara keluar sebentar aja!" ucapnya meminta izin. Sedangkan, Gabriella dia hanya diam dengan berbagai pertanyaan yang masih menyelimutinya.

"Nara, tapi-"

"Please, Ma! Nara cuma sebentar. Janji, Nara bakalan kabarin Mama nanti!" mohonnya.

Anara yang tidak tega dengan putrinya itupun akhirnya hanya mengangguk dan membiarkan Winara dan Gabriella untuk mencium punggung tangannya.

"Hati-hati, ya! Jangan ngebut!" ucap Anara memperingati dan Winara hanya mengangguk saja seraya mengucapkan salam.

"Ra, kamu yakin mau bawa motor?" tanya Gabriella dengan ragu, karena dia sangat kenal dengan sahabatnya yang satu ini yang benar-benar takut untuk naik motor, gara-gara kecelakaan yang dulu pernah dia alami.

"Gak pa-pa, By. Aku bisa, kok. Ayo!" ucap Gabriella yang sudah siap dengan motornya. Dengan ragu, Gabriella pun menaiki motornya Winara. Dan setelah Gabriella menaiki motor itu, langsung saja Winara menancapkan gas Scoopy-nya dan membawanya menuju rumah sakit.

Pertama untuk Terakhir (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang