Pagi ini, Winara sudah terlihat rapi dengan seragamnya. Seperti biasa, semangat untuk ke sekolahnya selalu ada, namun kali ini dengan senyuman yang menghilang.
"Ra, kamu udah mau berangkat?" tanya Gabriella yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Iya, By. Soalnya pagi ini ada yang harus aku urus dulu," ucap Winara seraya menyandang tasnya.
"Ooh ... pantesan."
"Yaudah, aku berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalam." Setelah Gabriella menjawab salamnya, Winara langsung saja meninggalkan Gabriella di dalam kamarnya. Dan mulai menuju lantai dasar rumahnya dan menemui Anara.
"Ma, Nara berangkat dulu, ya."
"Sepagi ini?" tanya Anara dengan heran.
"Iya Ma, soalnya Nara ada something yang mau diselesaikan dulu," ujar Winara.
"Tapi, papa kamu kan belum selesai siap-siap, Sayang."
"Nara pergi sendiri, Ma. Nara gak mau merepotkan papa. Yaudah, kalau gitu Nara pergi dulu ya, Ma. Assalamu'alaikum!"
"Loh, sarapan dulu, Ra!"
"Enggak usah Ma, nanti aku sarapan di kantin aja," teriaknya yang saat ini sudah mulai menjauh dari Anara.
"Wa'alaikumussalam," lirih Anara pada akhirnya yang diiringi oleh gelengan kepalanya.
...
"Loh, Papa kok di sini? Terus Nara berangkat sama siapa tadi?" tanya Gabriella yang baru saja sampai di ruangan makan.
"Dia berangkat sendiri, Nak" sahut Anara yang saat itu baru saja kembali dari dapur.
"Tumben, Ma? Biasanya kak Nara selalu bareng papa," celetuk Della.
"Sudahlah, Della kamu sudah selesai bukan? Ayo, kita berangkat sekarang!" potong Wino yang mengalihkan arah pembicaraan di ruangan ini.
"Iya Pa, ini dikit lagi."
Dengan pengalihan topik ini, bukannya membuat Gabriella berhenti kebingungan, namun malah membuat dia menerka sesuatu yang mungkin saja menjadi alasan mengapa ada yang aneh untuk hari ini.
"Pa, Gaby boleh bicara?" tanya Gabriella meminta izin.
"Oh tentu Sayang, kamu mau bicara apa memangnya?" ucap Wino dengan lembutnya.
"Tapi, kayanya bukan di sini, Gaby mau bicara berdua sama Papa aja, boleh?" tanya Gabriella lagi. Mendengar pertanyaan Gabriella tersebut, seketika membuat Wino merasa sedikit ragu untuk menerimanya.
"Em ... sepertinya lain waktu saja ya, Papa harus berangkat kerja sekarang. Della, ayo Nak!" ucapnya yang segera bangkit dari duduknya dan diangguki oleh Della yang baru saja menghabiskan sarapannya.
"Oh ... Okay, Pa." Gabriella pun hanya bisa tersenyum tipis karena itu dan mulai menikmati sarapannya dengan hati yang masih saja tidak tenang.
Sedangkan, di lain sisi. Dengan perlahan-lahan, Winara membuka pintu ruangan rawat itu. "Assalamu'alaikum!" salamnya seraya melangkah. Dan di sana, dia bisa melihat seorang wanita paruh baya bersama dengan seorang pria yang tengah menikmati sarapannya.
"Wa'alaikumussalam," jawab mereka berdua.
"Loh, Nara? Kamu kenapa ke sini, Nak?" tanya Syifa terkejut. Sedangkan pria itu hanya menatap Winara dengan malas, meski rasa penasarannya tetap ada.
"Hehehe, iya Tan, mau mastiin kalau semuanya baik-baik aja," ucap Winara dengan kekehannya.
"Tapi, itukan bisa nanti, Ra."
"Nara gak tenang Tan, kalau harus nanti, lagian bel sekolah masih lama berbunyi, dan jarak sekolah dari sini pun lumayan dekat. Jadi, Nara tidak perlu khawatir untuk terlambat," jelasnya seraya tersenyum.
"Yaudah, kebetulan kamu di sini, Tante mau keluar sebentar, Tante titip Zidan, ya." Dan Nara pun hanya mengangguk dengan permintaan Syifa tersebut, seraya mulai menggantikan posisi Syifa tadi. Namun, sebelum sempat mangkok kecil itu berada di tangan Winara, Haidar sudah terlebih dahulu merebutnya dan menyuapi bubur yang berada di mangkok itu ke dalam mulutnya sendiri.
"Haidar bisa makan sendiri, Ma" sela Haidar dengan cepat, sebelum Syifa membuka suaranya. Dan mendengar perkataan Haidar tersebut hanya mampu membuat Syifa tersenyum simpul, namun tidak bagi Winara.
"Ya sudah, Mama tinggal sebentar ya," ucapnya dan diangguki oleh kedua manusia itu. Lalu, Syifa pun mulai meninggalkan mereka berdua di ruangan itu dengan keheningan yang menemani mereka.
Namun, keheningan itupun hanya betah beberapa menit di hadapan Winara. Karena, gadis itupun akhirnya membuka suaranya dengan mencoba duduk di kursi sebelah ranjangnya Haidar.
"Maaf," lirihnya seraya menunduk. Dan seketika itu juga menghentikan sendok yang baru saja akan masuk ke dalam mulutnya Haidar.
"Saya tau, saya salah. Cara penyampaian saya kemarin itu salah, dan ini semua terjadi pun karena saya. Maaf," lanjutnya.
Lagi-lagi, Haidar hanya bisa diam seraya menatap lurus ke arah depan dengan wajah flatnya.
"Haidar, saya tau kamu marah dengan saya, tapi jangan diam seperti ini," cicitnya dan tentu saja itu bisa di dengar oleh Haidar. Pria itupun seketika menoleh ke arah Winara.
"Lo gak salah sebenarnya, gue yang terlalu overthinking dengan tubuh gue sendiri. Btw, makasih juga karena lo udah berusaha buat dekatin gue dengan nyokap gue. Sekarang, gue udah ngerasain enggak sendirian lagi. Gue punya nyokap gue yang saat ini menjadi penyemangat gue. Makasih, Sya." Ini adalah kali pertamanya Haidar berbicara panjang lebar kepada Winara. Dan tentu saja hal itu spontan membuat senyuman Winara mengembang dan gadis itu juga menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas terima kasih yang diucapkannya.
"Lo gak marahkan, kalau gue panggil Tasya?" tanyanya dengan menatap Winara, namun tidak dengan gadis itu yang menatap ke arah lain.
"Sebenarnya saya tidak ada masalah dengan nama apapun yang diberikan, tetapi sepertinya nama itu kurang cocok untuk saya," jelas Winara.
"Lah, kalau gak cocok ngapain lo kasih itu nama ke nama panjang lo?" ucapnya dengan memutar bola matanya.
"Lah, suka-suka orang tua saya lah, nama-nama saya," sinis Winara.
"Yaudah, gue panggil lo cewek aneh aja, bereskan."
"Aneh? Saya tidak aneh ya," ucapnya yang langsung menatap Haidar dengan sinis.
"Aneh," ejek Haidar seraya kembali memakan buburnya.
"Haidar, saya tidak mau bercanda, ya!" peringat Winara dengan nada yang sepertinya terlihat marah. Namun, pria itu sama sekali tidak mempedulikannya.
"A-"
"Lo mau terlambat? Liat jam sana!" potong Haidar dengan dinginnya.
"Astaghfirullah! Hampir aja, tapi ...," ucapnya dengan ragu.
"Udah, lo berangkat aja sana, gue bisa sendirian," timpal Haidar.
"Tapi, nanti Tan-"
"Gue bilang, lo pergi aja, gue gpp," ucapnya lagi dengan nada sedikit membentak. Dan tentunya hal itu langsung membuat Winara bergegas menyandang tasnya dan berlalu dari hadapan pria itu. Bukan karena bentakan, tetapi karena mengingat bel sekolah yang dalam 15 menit lagi akan berbunyi. Dan tentunya dia pergi dengan mengucapkan salam terlebih dahulu.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya seraya menatap kepergian Winara.
"Lo benar-benar gadis yang berbeda, Sya. Untuk pertama kalinya gue nemuin cewek kaya lu, yang bisa sesabar itu ngehadapin gue yang keras kepala. Tuhan sepertinya menakdirkan lo untuk berada di kisah terakhir gue, dan mengukirkan secercah kebahagian untuk hidup gue yang selama ini tidak begitu terlihat indah. Dan di sini, gue berharap, semoga lo juga menjadi perantara untuk pertemuan gue dengan kembaran gue suatu saat nanti." Senyuman itupun akhirnya tercipta, setelah sekian lama memudar ditelan oleh kepahitan kenyataan yang selalu membohongi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertama untuk Terakhir (End)
Teen Fiction[FiksiRemaja-Spiritual] "Dia hadir dalam genggaman kepiluanku."-Winara "Dialah permata indah yang harus dijaga."-Haidar Cerita yang berawal untuk diakhiri. Dan cerita pertama untuk terakhir. 11 Agustus-27 November 2021 ©Resa Hidayahtri