Selama diperjalanan pulang Winara tak hentinya untuk terus fokus pada jalanan. Entah karena apa, tetapi sepertinya dia kelihatan sedikit ketakutan.
"Ra, kamu gak pa-pa, kan?" tanya Gabriella merasa khawatir dengan cara mengemudi sahabatnya yang sepertinya tengah ketakutan untuk berada di jalan raya yang ramai ini.
"Gak pa-pa, By. Kamu tenang aja!" ucapnya dengan sedikit berteriak agar bisa didengar oleh Gabriella.
"Hati-hati, Ra!" teriaknya yang tepat pada saat itu tiba-tiba saja Winara hampir menyenggol pengemudi lainnya. Namun, untunglah sebelum semuanya terlambat, Winara bisa menyeimbangi motornya.
"Astaghfirullah! Ra, hati-hati! Fokus Ra, fokus!" teriak Gabriella mencoba untuk menyemangati sahabatnya itu.
"Aku tau, kamu bisa Ra. Mungkin malam ini trauma kamu bisa hilang," ucapnya lagi.
Mendengar kata-kata Gabriella tersebut, seketika membuat Winara langsung mengambil napasnya dalam-dalam dan mulai mencoba untuk meyakinkan dirinya, jika dia pasti bisa. Lalu, mencoba untuk terlihat tenang mengemudikan Scoopy-nya.
Selang beberapa menit kemudian, akhirnya mereka berdua pun sampai di rumahnya Winara, membuat mereka berdua mampu bernapas lega setelahnya. Namun ...
"Ekhem!" Deheman itu malah membuat mereka berdua terkejut, terutama Winara.
"Dari mana kalian?" tanya Wino dengan dingin dan tegasnya.
"Pa-pa?" lirih Winara dengan gugup.
"Saya bicara pada kamu Winara!" bentak Wino dengan nada tegasnya.
"Ka-kami dari rumah sakit, Pa," jawab Winara terbata-bata. Sedangkan Gabriella, gadis itu tengah menunduk saat ini.
"Masuk kamu!" ucap Wino dengan tegasnya, lalu berlalu dari hadapan kedua gadis itu.
Sepeninggalan Wino, Gabriella langsung saja menatap sahabatnya dengan was-was. "Ra, kamu gimana ini?" tanyanya khawatir.
"Gak pa-pa, By. Kamu duluan aja masuk, tapi langsung ke kamar aku ya, dan jangan lupa pintu kamarnya di kunci dulu. Nanti aku nyusul kamu ke kamar," ucapnya yang masih saja berusaha untuk tenang.
"Tapi, Ra!" ucap Gabriella tidak setuju.
"By, kali ini turutin perkataan aku, ya! Cepat!" ucapnya yang diakhiri dengan nada sedikit membentak.
"Ra, aku ini gak mau kamu kenapa-kenapa. Jadi, kalau kamu dimarahin papa, berarti aku juga harus dimarahi, karena kamu pergi juga sama aku. Jadi, gak ada yang gak adil di sini."
"By! Kamu sayang aku kan? Sekarang cepat masuk, terus ke kamar, dan kunci pintu kamarnya! Jangan keluar sebelum aku yang datang ke kamar! Kamu paham, kan!" ucap Winara yang lagi-lagi dengan sedikit membentak di tambah dengan mendorong bahu Gabriella agar gadis itu meninggalkan dirinya.
Jujur saja, Gabriella benar-benar tidak tega jika harus membiarkan Winara sendirian, namun Winara juga tidak membiarkan dia agar menemani dirinya. Dengan langkah terpaksa, akhirnya Gabriella pun menuruti kemauan sahabatnya itu dan memasuki rumah gadis itu, lalu menuju kamarnya Winara dan menguncikan dirinya di sana.
Melihat Gabriella yang sudah pergi, Winara pun akhirnya menyusul untuk masuk ke dalam rumah itu dengan hati yang berusaha untuk tetap tenang.
"Sekarang kamu sudah besar, ya! Keluar tanpa izin dari saya. Dan keluar sampai malam begini. Apa yang kamu cari ke rumah sakit, ha?" ucap Wino di saat Winara baru saja memasuki rumahnya.
"Jawab! Jangan diam aja, kamu!" bentaknya.
"Ma-maaf, Pa. Ta-tadi temannya Winara kecelakaan, jadi Winara ke rumah sakit untuk memastikan keadaannya."
"Harus sampai jam segini?" bentaknya lagi.
"Maaf Pa, Nara gak sempat buat lihat jam," bela Winara yang masih menunduk.
"Oo ... gak sempat? Lalu, apa gunanya handphone kamu itu, ha? Berkali-kali saya menelepon, tapi tidak diangkat. Apa gunanya? Kalau kamu tidak butuh lagi, lebih baik di buang aja sekalian!"
"Maaf, Pa!" lirih Winara lagi, bahkan saat ini air matanya sudah menumpuk di pelupuk matanya.
"Kamu tau enggak! Papa itu lelah! Papa habis kerja, seharusnya kamu jangan buat Papa khawatir kaya gini! Kalau terjadi sesuatu sama kamu yang susah akhirnya pasti Papa juga. Nah, kalau langsung meninggal masih mendingan, tapi kalau kamu harus dirawat dulu atau patah-patah, itu bakalan nyusahin Papa juga! Kapan sih kamu bisa berubahnya buat gak kaya gini lagi? Kapan kamu bisa dewasa, ha? Ingat umur kamu, kamu itu udah bukan anak-anak lagi, kamu udah besar. Coba kamu lihat adik kamu, dia gak pernah kaya kamu! Dia selalu berusaha buat bangga Papa dan mama! Kamu kapan? Bahkan, kamu cuma tahu buat nyusahin Papa terus!"
Jujur, itu adalah tamparan yang paling menyakitkan bagi Winara. Jika dibandingkan dengan dipukul, mungkin Winara akan lebih memilih untuk dipukul saja, daripada harus menerima hujaman perkataan ayahnya itu.
"Nara memang beda daripada Della. Nara memang gak sepintar Della. Bahkan, Nara juga gak seberuntung Della yang selalu diperhatikan oleh Papa. Makasih Pa, udah menyadarkan Nara untuk saat ini. Nara tau, Nara udah besar, bahkan Nara tau, jika Nara bukan anak yang harus dimanja dan mendapatkan kasih sayang ayahnya sendiri! Nara tau itu!" ucapnya yang diakhiri dengan intonasi meningginya pada saat mengatakan 'Nara bukan anak yang harus dimanja dan mendapatkan kasih sayang ayahnya sendiri!'
"Nara!" bentak Wino seketika itu dan langsung saja membuat Winara tersenyum kecut.
"Kenapa Pa? Bertahun-tahun Nara harus menerima perbandingan dari Papa. Papa seperti tidak mau menerima diri Nara di kehidupan Papa, kenapa? Nara tau, Nara ini anak pertama. Nara gak boleh manja. Nara gak boleh bergantung sama siapapun, karena suatu saat nanti Nara juga akan menanggung semuanya sendiri. Tapi, cara Papa salah, Pa. Papa seharusnya tidak membedakan bagaimana Nara dan Della. Kami itu sama-sama anak Papa!" jawab Winara dengan air mata yang mulai menetes.
"Nara, Papa gak nyangka kamu akan seberani ini buat bicara kaya gitu sama Papa. Mulai sekarang, terserah kamu mau lakuin apapun. Papa gak akan peduli lagi sama kamu. Papa benar-benar udah lelah sama sikap kamu. Dan ingat satu hal lagi, mulai besok kamu tidak akan saya antarkan ke sekolah lagi. Terserah kamu mau naik apa ataupun mau melakukan apa, saya tidak peduli lagi!" Setelah mengatakan itu, Wino pun beranjak dari posisinya dan meninggalkan Winara yang hanya mampu tersenyum simpul. Hatinya benar-benar sakit untuk saat ini.
Tanpa memperlama waktu lagi di sini, Winara langsung saja menuju kamarnya dan menghapus air matanya itu dengan kasar.
"By, buka pintunya!" ucap Winara seraya mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
Ceklek.
Pintu itu langsung saja dibuka oleh Gabriella dengan wajah khawatirnya, namun Winara hanya menampilkan senyumannya.
"Ra, kamu gak pa-pa, kan?" tanyanya.
"Gak pa-pa ko, By" ucapnya dengan tenang.
"Papa bicara apa sama kamu?" tanya Gabriella yang masih saja khawatir.
"Tidak ada apa-apa kok. Udah ah, ayo tidur! Udah malam, ngantuk nih," ajaknya mengalihkan topik pembicaraan dan langsung memasuki kamarnya itu. Dan tentu saja hal itu membuat Gabriella merasa ada sesuatu hal yang sedang tidak beres di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pertama untuk Terakhir (End)
Teen Fiction[FiksiRemaja-Spiritual] "Dia hadir dalam genggaman kepiluanku."-Winara "Dialah permata indah yang harus dijaga."-Haidar Cerita yang berawal untuk diakhiri. Dan cerita pertama untuk terakhir. 11 Agustus-27 November 2021 ©Resa Hidayahtri