Bali, hari kedua, 08.00
Bian dan Nara sudah bangun sedari subuh tadi. Setelah melaksanakan salat subuh, mereka membereskan kamar hotel. Sekitar pukul enam pagi, Bian memutuskan untuk berenang. Berbeda dengan Nara yang hanya duduk di tepi kolam renang. Hawa dingin di Bali ternyata membuat Nara tidak memberanikan diri untuk ikut berenang.
Saat ini, mereka tengah bersiap-siap akan sarapan.
"Udah?" tanya Bian pada Nara yang tengah menyemprotkan minyak wangi di depan meja rias. Nara mengangguk kemudian menutup botol minyak wangi itu dan meletakkannya kembali.
Bian dan Nara pun menuju ke depan untuk sarapan pagi. Nara mengambilkan nasi dan beberapa lauk lainnya. Mereka pun duduk di dekat jendela dengan pemandangan yang lagi-lagi keindahan pantai. Sungguh, Nara betah jika memiliki rumah seperti ini. Pemandangan alam seperti ini memang menjadi kesukaan Nara. Katanya, melihat semua yang ada di depannya saat ini itu seperti sebuah tamparan untuk selalu bersyukur.
Nara teringat akan satu hal. Semalam, dia belum sempat bertanya namun Bian sudah terlebih dahulu tidur.
"Mas." Bian yang tengah fokus sarapan itu menatap Nara. Dia hanya menaikkan kedua alisnya, karena mulutnya sedang mengunyah.
"Aku mau tanya, deh." Jawab Nara selanjutnya.
Bian pun minum seteguk dan memberhentikan makannya sejenak. "Nanti, ya, makan dulu."
Nara mengangguk. Akhirnya Nara menyelesaikan sarapan paginya itu. Setelah selesai, semua makanan dan minuman kandas di perut mereka masing-masing, Bian bersandar di kursi karena merasa begah.
"Kenapa? Mau tanya apa?" ungkap Bian.
Nara memicingkan matanya. "Perempuan yang kemarin ketemu kita di Kuta, itu siapa, sih?"
Raut wajah Bian berubah sedikit menjadi agak malas. "Rekan kerja saya." Bian menjawab pertanyaan istrinya itu sambil mengambil ponsel di sakunya. "Kenapa?" lanjutnya.
"E... e..., ngga papa. Tapi, kalau rekan kerja kenapa panggilnya ngga ada embel-embel apapun?" tanya Nara heran.
Itu yang dari semalam mengganjal di hatinya. Entah perempuan itu siapa, Nara juga tidak peduli asal bukan dari masa lalu suaminya. Nara sangat membenci seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. Siapapun itu.
Setelah pulang dari Kuta pun, Bian terlihat sedikit berbeda. Awalnya, Nara berpikir kalau Bian lelah. Walaupun hanya menempuh perjalanan yang cukup sebentar, namun sesampainya di Bali juga mereka langsung tidak beristirahat di hotel. Namun, tetap saja, pikiran seorang perempuan tetap saja menjadi penyakit hati untuk dirinya sendiri.
"Dia udah jadi rekan kerja saya dari dulu. Dari awal saya pegang perusahaan itu. Jadi, ya, emang udah akrab aja." Nara hanya mengangguk. Tak sepantasnya dia menaruh curiga pada suaminya itu. Suatu saat, dia juga akan diceritakan tentang kehidupan Bian di masa lalunya.
"Kenapa, sih, cemburu?" lanjut Bian sambil terkekeh. Nara memutar bola matanya jengah. "Biasa aja. Kan, cuma pengen tahu." kata Nara selanjutnya sambil melihat jam di ponselnya. Bian yang mendengar itu tertawa.
"Ya, udah, yuk. Keburu siang nanti panas." kata Nara yang kemudian bersiap-siap memakai tas selempang di bahu kanannya. Mereka keluar bersama menuju mobil yang sudah Mama Hanna sewa itu.
-
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, sampailah mereka di Pura Luhur Uluwatu. Tempat ini dipilih oleh Bian sebagai destinasi wisata karena dia menyukai tempat yang memiliki sejarah. Selain dapat menikmati pantainya yang asri, dia juga berkata pada Nara kalau di sana tempatnya indah karena terdapat sebuah Pura yang berada di atas tebing.
Hanya sekitar satu jam Nara dan Bian berada si Pura Luhur Uluwatu itu. Selanjutnya, mereka menuju ke Bedugul. Bedugul menjadi pilihan Nara. Katanya, suasana dingin di Bedugul sambil melihat keindahan Danau Beratan merupakan perpaduan yang cukup apik. Walaupun menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Uluwatu, namun Bian tetap mau saja. Bahkan tidak ada raut lelah diantara keduanya. Bian dan Nara terlihat senang-senang saja.
Di Bedugul, Bian menunjukkan kelihaiannya untuk memotret. Iya, Bian memang membawa kamera. Memotret pemandangan, memotret hiruk pikuk pengunjung, dan tak lupa juga dia memotret istrinya, Nara.
Cukup lama mereka berada di Bedugul hingga pada akhirnya jam menunjukkan pukul dua belas siang. Bian dan Nara melaksanakan salat dzuhur terlebih dahulu di masjid dekat sana. Setelah itu, Bian kembali melajukan mobilnya untuk mencari makan siang.
Makan siang selesai, Bian membawa mobilnya untuk ke Pantai Tanah Lot. Tanah Lot menjadi destinasi terakhir hari ini. Sengaja memilih Tanah Lot menjadi yang terakhir karena akan melihat sunset. Padahal, Nara ingin ke Kuta lagi, namun Bian menyarankan ke sini. Katanya, Nara harus melihat siluet dari pura yang berada di tengah tebing saat sunset.
-
Tanah Lot, 18.00
Bian dan Nara duduk di antara tebing kecil pinggir laut. Beberapa kali tubuh mereka terkena cipratan air laut. Bahkan, baju yang Nara kenakan sudah sedikit basah. Bian yang membawa jaket pun memakaikannya ke tubuh istrinya itu. Romantis juga si dingin ini.
"Ngga mau foto, Mas?" tawar Nara pada Bian. Bian menggeleng. "Kamu aja. Sanah ke sana, nanti saya foto." kata Bian sambil memegang kamera bersiap untuk mengabadikan momen Nara saat langit sudah mulai menggelap.
Nara mengerutkan keningnya. "Berdua, ayo."
"Siapa yang mau ngefoto coba?" Bian terlihat celingak-celinguk mencari seseorang. Ada, namun agak jauh dari jaraknya duduk itu. Dengan cekatan Nara berjalan diantara tebing itu sambil berhati-hati. Dia menuju ke seorang wanita dan laki-laki yang tengah duduk untuk meminta bantuan.
Terlihat wanita itu menyetujui.
"Ayo." kata Nara mengambil kamera dari tangan suaminya dan menyerahkan ke wanita yang dimintai bantuan itu.
Bian yang awalnya kaku dan sulit sekali untuk tersenyum, saat ini sudah bisa tertawa lepas. Beberapa puluh kali wanita itu meminta untuk berganti gaya. Bergantian, Bian sendiri, Nara sendiri, mereka berdua. Setelah selesai, dibarengi dengan langit yang sudah gelap total, Bian dan Nara duduk kembali sambil melihat hasil foto.
"Ih, bagus." kata Nara sambil menggeser-geser hasil fotonya.
"Seneng ngga?" Nara mengangguk sumringah.
Nara menutup lensa kamera yang dia pegang dan meletakannya diantara kedua pahanya. Pandangannya lurus ke depan, sambil melihat sedikit semburat oren dari langit tanda matahari terbenam sebentar lagi usai.
"Makasih, ya, Mas." kata Nara. Bian menengok ke arah kanannya terlihat Nara yang tengah tersenyum kecil.
"Untuk?" tanya Bian keheranan.
Bergantian. Nara menengok ke arah Bian. "Ya, ngga papa. Makasih aja. Kamu udah bikin aku seneng dua hari ini." kata Nara selanjutnya.
Bian tersenyum sambil mengacak rambut Nara. "Itu sudah kewajiban saya. Kalau saya ngga bisa buat kamu senyum, ya, itu malah jadi beban buat saya."
Nara mengerutkan keningnya. "Kok, beban?"
"Ya, iya, beban. Berarti, kan, kamu ngga bahagia sama saya. Walaupun saya tahu, saya belum cinta sama kamu, pun juga dengan kamu, tapi kalau kamu sudah bahagia seperti ini, saya juga ikut bahagia." Nara tersenyum mendengar penuturan suaminya itu. Dia pun memberanikan diri untuk menyandarkan kepalanya di bahu kanan Bian.
Semesta merestui pertemuan mereka. Tidak ada cinta, bukan berarti tidak ada sedikit pun rasa. Keadaan sudah sejalan dengan takdir, memaksa dua insan yang asing itu untuk bersama. Menjalin kasih, merangkai kisah.
-
Seneng ngga, kalo liat Mas Bian sama Mba Nara seneng?
-to be continued-
⭐ jangan lupa pencet bintangnya; terima kasih♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...