[Author percepat satu hari]
Hari keempat, 13.00
Hari terakhir di Bali, Bian dan Nara habiskan untuk membeli beberapa oleh-oleh. Baju, tas, sepatu, dan berbagai cenderamata lainnya. Nara sebagai perempuan yang melihat barang-barang gemas itu benar-benar kalap. Untuk Mama Hanna, Kaila, Bian, Nara sendiri, bahkan hingga Ayah dan Ibunya pun dia belikan. Bian memperbolehkan. Biar bagaimana pun, Nugroho dan Kirana sudah menjadi orang tuanya juga.
"Mas, ini lucu ngga?" kata Nara sambil menunjukkan satu stel baju khas Bali seukuran Kaila berwarna putih. Bian mengangguk, dia mengambil baju yang dipegang Nara itu.
"Ngga kekecilan?" Bian mencoba mengira-ira seberapa ukuran Kaila.
Nara terlihat berpikir. "Iya, ya."
Bian terlihat memilih beberapa baju yang berada di gantungan itu. "Ini, nih." Bian mengambil baju yang berada di depannya itu. Nara menoleh ke belakang, ke arah Bian. "Boleh, Mas. Kayaknya lebih bagus ini juga." Nara mengambil baju itu dan memasukannya ke dalam tas.
Terhitung sudah satu tas penuh berisi baju dan beberapa oleh-oleh lainnya. Bian dan Nara berjalan menuju kasir untuk membayar. Sesampainya di kasir, ternyata antreannya cukup ramai. Walau tak terlalu banyak, namun beberapa orang di depan Nara menenteng tas yang berisi belanjaan yang penuh. Mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Bian terlihat celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. "Saya mau ke belakang dulu, ya. Kamu ngga papa saya tinggal?" kata Bian.
Nara mengangguk. "Iya, ngga papa. Kamu langsung ke parkiran aja. Ini juga paling bentar lagi."
Bian pun meninggalkan Nara untuk ke toilet sejenak. Selang beberapa saat, antrean sudah habis, sekarang giliran Nara.
-
Parkiran mobil
Terlihat Nara yang membawa dua paper bag berjalan menuju mobil Bian. Di sana terlihat Bian yang sedang bertengger di depan mobilnya sambil memainkan ponselnya.
"Yuk." kata Nara sambil membuka pintu mobil untuk memasukan barangnya ke kursi penumpang. Tanpa kata, Bian langsung masuk ke dalam mobil diikuti dengan Nara.
Bian sudah duduk di belakang kemudi, pun dengan Nara yang berada di sebelahnya sedang memakai seat belt.
"Habis berapa?" tanya Bian sambil memakai seat belt-nya.
"Tujuh ratus lima puluh delapan ribu, Mas." jawab Nara.
"Kamu bayar pake kartu yang mana?" tanya Bian dengan pandangan lurus ke depan. Agaknya raut wajah Bian terlihat berbeda. Nara tersentak. Dia membayar ini semua memang menggunakan kartu debitnya. Bukan menggunakan kartu debit yang Bian berikan tempo hari.
"Ya, kartu yang biasa." jawab Nara sedikit terbata-bata.
Bian menoleh ke arah kiri. "Kok, saya ngga dapat sms dari mobile banking-nya?"
Nara melongo. Ceroboh sekali dia. Dia lupa setiap transaksi yang dilakukan dengan semua kartu milik Bian, pasti akan mendapatkan pesan mutasi pemakaian uang.
"Kartu yang mana?" tanya Bian lagi dengan tatapan tajam. Seharusnya ini menjadi moment membahagiakan, mengingat malam ini adalah hari terakhir di Bali.
Nara gelagapan. Dia bingung harus bagaimana. Memang Nara membayar oleh-oleh itu menggunakan kartu debitnya. Bukan bermaksud apa-apa, tapi, ini semua barang pilihannya. Beberapa barang juga milik Nugroho dan Kirana, pun juga Ressa. Walaupun Bian sudah mengizinkan untuk membeli sebanyak apapun, tapi dalam hati Nara merasa tidak enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...