Tentang Perjodohan

349 29 0
                                    


...

Alvin keluar masjid bersama ayahnya, mereka baru saja melaksanakan Salat Jumat. Mengingat ayahnya sudah tidak lagi bekerja di Saiful Anwar, maka Alvin berusaha menyempatkan waktu untuk mengajak salat bersama di Masjid Agung.

“Kita makan dulu, ya!” ajak sang ayah sambil berjalan menuruni tangga.

Alvin duduk di depan ayahnya, menunggu sang pedagang menyiapkan pesanan mereka, dua mangkuk bakso kikil.

“Menurutmu, Vita bagaimana anaknya?”

Alvin terdiam bingung harus menjawab apa. Ia tahu maksud sebenarnya dari pertanyaan tersebut.

“Ayah tidak memaksamu untuk mengambil keputusan secepatnya. Tapi mungkin bisa dipertimbangkan, mengingat hubungan pertemanan Ayah dan Ayah Vita cukup baik. Apalagi kalian memiliki profesi yang sama.”

Alvin menundukkan pandangan, menimang-nimang dengan baik apa yang disampaikan ayahnya.

“Boleh aku tanya sesuatu pada Ayah?”

Ayahnya mengangguk.

“Apa aku harus memilih Vita?” Alvin menahan napas saat pertanyaan itu terlontar.

“Apa kau punya pilihan sendiri?” tanya balik ayahnya, memandang wajah Alvin dengan mata selidik.

Alvin diam sejenak, lalu menggelengkan kepala.

“Ayah bisa saja menerima gadis lain, tapi tentu dengan banyak pertimbangan yang matang, karena membangun keluarga itu tak sekadar cinta belaka. Harus ada visi dan misi yang sama, sehingga kehidupan akan berjalan sesuai.”

Alvin tersenyum memahami, dan dua mangkuk bakso kikil pun datang. Sang penjual dengan senyum ramah menghidangkan di meja mereka.

“Kau anak satu-satunya Ayah, jadi wajar jika ayah ingin memberikan yang terbaik, termasuk siapa yang akan engkau nikahi. Meskipun tidak menjamin pilihan Ayah adalah jodohmu, tapi setidaknya Ayah telah memberi gambaran, karena toh sebenarnya jodoh itu bisa diubah tergantung seberapa banyak kita mengubah diri kita,” papar ayahnya, memasang tameng agar Alvin tak membuka peluang takdir lain masuk.

“Aku mengerti.”

“Jika kamu memang merasa cocok dengan Vita, kita bisa membicarakan hal ini antar keluarga.”

“Tunggu Ayah! Biarkan aku berpikir dulu untuk hal ini. Aku butuh banyak kesiapan, tak sekadar profesi dan materi saja.”

Ayahnya tersenyum mengangguk, memahami. 

@@@

Cafee Story, Jalan Kawi Atas No.23

Vita terseyum pada pelayan yang baru saja menghidangkan segelas macchiato dan sepiring kue Bhoi –kue terkenal di Aceh– kue ini biasa disajikan bersama secangkir kopi, dan Vita biasa menikmati kue tersebut di Caffee Story. Ia biasa datang ke caffee tersebut bersama Chairin –kakaknya.

“Jadi bagaimana tentang rencana Ayah terhadapmu itu? Kamu setuju, kan? Gak bakal nolak cowok seganteng dan sepintar Dokter Alvin, kan?” rentetan pertanyaan Chairin mendadak membuat kepala Vita nyut-nyutan. Beberapa kali ia menarik napas.

“Aku tidak tahu harus menjawab apa, tapi nampaknya dia tak menyukai rencana perjodohan ini. Aku merasa semakin tidak enak dengannya jika terus membicarakannya.”

Chairin mendengus. Ia tahu betul adiknya yang berumur satu tahun lebih muda darinya itu memang tidak pandai menarik perhatian laki-laki, meskipun nilai kecantikannya di atas rata-rata, tapi Vita bukan tipe cewek yang mudah mendapat cowok. Yah, mungkin karena sikap dan cara pandang dia pada laki-laki berbeda dengan dirinya.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang