Kode Darurat

1K 67 0
                                    

UGD RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang

Para petugas medis sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Beberapa perawat berlarian membantu dokter di ruang operasi, juga beberapa ko-as yang tak kalah sibuk, seolah UGD menjadi pasar bagi setiap rumah sakit. Seperti namanya, unit darurat menjadi momok pertama bagi para dokter dan petugas medis di rumah sakit.

Alvin berdiri di ambang pintu masuk, melihat para petugas medis yang sibuk dan beberapa pengunjung memenuhi ruang tunggu. Ia teringat dengan suasana rumah sakit 5 tahun lalu, saat ia masih menyandang status sebagai ko-as. Nyaris ia menjadi saksi atas setiap titik keributan di UGD, brankar dan para petugas medis yang bekerja dalam keadaan panik.

"Permisi, Pak! "
Seorang gadis dengan balutan has dokter berdiri di belakang Alvin. Ia hendak masuk tapi terhalang oleh tubuh Alvin.

Sontak Alvin kaget dipanggil 'Pak', sebutan macam apa itu untuk ukuran lelaki yang masih berumur 28 tahun yang belum menikah. Alvin pun segera membalikkan badan, melihat gadis itu penuh tanda tanya. Sesaat diperhatikannya jas putih yang dipakainya, lengkap dengan beberapa peralatan yang selalu mengisi kantong jas tersebut. Di saku jas itu tertulis nama VITA.

"Bapak tahu kankan ini UGD? Bukan tempat mematung di ambang pintu. Bagaimana jika ada pasien yang masuk?" Katanya dengan nada tinggi sambil memandang Alvin kesal.

"Bukankah masih ada ruang untuk lewat?" Alvin balik bertanya, tak mau diremehkan.

"Maaf ya Pak, tapi ini rumah sakit, jadi tolong mengerti!" Nada suara ko-as itu kian lantang.

Alvin pun menghela napas, "Baiklah." Dan memutuskan untuk melangkah menggeser tubuhnya dari pintu masuk, dan ko-as tersebut tersenyum menang.

Seperti Aku dulu, masih ko-as kebanyakan besar kepala

***

Vita meletakkan kepalanya di atas meja panjang berukuran 1x3 meter. Mengeluh dengan tugas-tugas UGD yang tak kunjung usai, mulai dari pasien yang setiap lima menit sekali datang hingga pasien-pasien darurat tingkat satu yang tak jarang bisa puluhan kali tiap harinya.
Cukup sudah semua tragedi itu membuat wajah cantiknya memudar. Rambut sebahu yang biasanya terurai kini awut-awutan.

"Kenapa kamu? "
Seorang gadis berjilbab toska mendekat, Ia membawa nampan berisi makanan. Ia bernama Faya, tenaga non medis yang bekerja di balik loket UGD.

"Aku benar-benar ingin kabur dari rumah sakit. Gak usah jadi dokter!" Gerutu Vita, "Jika aku tahu menjadi dokter seperti tawanan perang yang harus kerja rodi kayak gini, aku gak bakal mau jadi dokter!" Suara Vita meletup-letup penuh penekanan.

"Dokter macam apa bicara begitu!" Sahut Faya asal.

"Sumpah, kalau bukan karena desakan Ayah, mana mau aku kuliah di kedokteran. Aku gak mau mati di ruang operasi karena banyaknya korban kecelakaan."

Kini Faya tak bisa menahan tawa, "Emang mati semudah itu? Jangan konyol! "

"Tidak hanya pasien yang membuatku gila, tapi juga perubahan konsulen. Aku bukan tipe orang yang mudah adaptasi."

"Maksudnya?" Tanya Faya.

"Ada pergantian konsulen di UGD. Dokter Hendra pindah ke rumah sakit lain, dan dengar-dengar akan digantikan dokter lain."

"Lalu apa masalahnya?"

"Aku males adaptasi. Iya kalau orangnya baik, kalau galak gimana? Bisa mati beneran aku." Vita menjatuhkan kepalanya di atas meja.

"Ya bagus dong. Hidupmu akan jadi lebih berwarna."

"Sesat kamu!" Vita menggerutu dan Faya kembali tertawa.

***

UGD pukul 16.000 WIB

"Kepada para ko-as, perkenalkan ini dokter Alvin. Beliau yang akan bertanggungjawab menggantikan tugas dokter Hendra di sini. Jadi dokter Alvin yang akan mengevaluasi tugas kalian." Papar kepala perawat, wanita yang berusia sekitar 40 tahun.

Vita kaget bukan main, Ia mencoba menelan ludah dengan susah payah. Ia tak membayangkan jika konsulen pengganti adalah lelaki yang Ia peringatkan secara kasar tadi pagi di depan pintu UGD.

"Semoga kita bisa saling membantu." Sapa Alvin sambil menundukkan kepala, masih dengan wajah cool-nya dan para ko-as tersenyum mengangguk. Sedang Vita hanya diam sambil melotot melihat Alvin.

Ya Tuhan, apakah dia akan menjadi malaikat pencabut nyawaku di sini?

***

Masih di ruang konsulen, kepala perawat membuka buku catatan sambil melihat kepada para ko-as yang sudah siap evaluasi dengan dokter Alvin. Di barisan paling ujung Vita tertunduk menciut, ia takut sekali jika namanya dipanggil. Sungguh ia tidak siap menampakkan wajahnya pada Alvin.

"Novita Elsabat."

Vita terbelalak, kenapa harus nama dia yang pertama dipanggil.

"Sss.. Saya," Vita mengangkat tangan tapi masih dengan kepala tertunduk.

Alvin mengerutkan alis lalu tersenyum geli. Ia jelas tahu nama yang ia panggil adalah gadis yang tadi pagi sempat menegurnya. Ia tahu posisi Vita yang nampak malu dan takut sehingga Alvin putuskan untuk tidak memberinya pertanyaan apa-apa, bahkan evaluasi ditunda besok karena ia pikir hari pertama kerja belum saatnya memberi ujian pada para ko-as.

Setelah memberi sedikit motivasi pada para ko-as, Alvin mempersilahkan mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Sedang Vita tak beranjak dari tempat ia berdiri, masih mematung di sana.

"Ee, Dokter," Suara Vita agak ragu dan sedikit takut.

"Ada apa?" Tanya Alvin dingin

"Maaf untuk yang tadi pagi, saya tidak tahu jika Anda seorang Dokter."

Alvin mengerutkan alis

"Jika aku bukan Dokter, apa kamu akan tetap meminta maaf?"

Vita terkejut dan mulutnya tiba-tiba bungkam, pertanyaan itu amat menusuknya.

"Belajarlah melihat orang bukan dari profesinya!" Kata Alvin dingin, lalu pergi meninggalkan Vita.

Vita tertunduk malu, lalu menepuk kepalanya, "Ini akan menjadi awal yang buruk," Gumamnya lalu tertawa sendiri seperti orang gila.

***

Bersambung

Terima kasih sudah membaca🙏 jangan lupa tinggalkan komentar, kritik atau saran ya 🤗

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang