Alvin terkejut saat visualnya menangkap sosok Faya yang secara tiba-tiba masuk ruang kerjanya. Dua pasang mata itu kembali saling bertemu. Ada sebuah kekecewaan dari sorot mata Faya saat itu, sebuah tatapan dingin yang membuat hati Alvin seperti diremas.
“Apa yang membawamu datang ke sini?" Tanya Alvin ragu.
Faya masih terdiam, mencoba menormalkan napas dan mengatur emosi.
"Apa dokter yang melunasi hutang-hutang saya di rumah sakit ini?"
Alvin terdiam, pada akhirnya pertanyaan ini akan datang padanya. Namun ia sudah siap apa pun yang terjadi.
“Apakah saya terlihat begitu menderita, sehingga Anda harus melunasi semua hutang saya? Apakah saya begitu layak dikasihani? Apakah karena saya sudah tak punya siapa-siapa? Kenapa Dokter? Kenapa Anda memperlakukan saya seperti ini?” pertanyaan beruntun itu diiringi dengan bendungan air mata yang nyaris pecah.
Alvin terdiam seperti ditikam. Mendadak tubuhnya menegang.
“Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?”
“Saya tahu semuanya. Kebaikan Anda dan segala pertolongan Anda adalah bentuk rasa kasihan Anda pada saya. Saya yakin semua adalah karena rasa kasihan, bukan seorang dokter pada pasiennya." papar Faya, berusaha keras membendung airmatanya.
Mendengar semua pertanyaan tersebut membuat Alvin oleng, kaki tegapnya seolah tak mampu menyangga tubuhnya, mendadak pula ada genangan air mata yang ingin tumpah. Rasa bersalah bercampur takut merambat membekukan mulut dan tubuhnya. Untuk pertama kalinya Alvin merasakan ketakutan seperti itu. Takut jika Faya kian berpikir buruk tentang dirinya.
Air mata yang ditahan gadis itu pun telah membedah, membuat dada Alvin ngilu.
“Saya tahu Anda baik, tapi ini sangat berlebihan. Dan sungguh saya paling tidak suka dikasihani. Saya masih kuat untuk bekerja melunasi semua hutang-hutang itu. Dan dokter? Anda bukan siapa-siapa saya, tapi kenapa Anda lakukan sampai sejauh ini?"
Alvin masih membisu, pada akhirnya ia sungguh tidak bisa menjelaskan apa pun.
Faya berjalan kian mendekat dan berdiri tepat di depan Alvin. Menatap sosok lelaki yang telah melukai hatinya.
“Saya mengagumi Anda, dan saya tahu Anda orang baik. Anda lelaki luar biasa yang pernah saya kenal, tapi saya benci dikasihani, dokter. Saya benci diperlakukan seperti gelandangan yang layak diberi rumah. Saya memang tak memiliki saudara di kota ini, tapi saya masih bisa bertahan hidup dengan bekerja. Saya mohon dokter! Saya mohon dengan sangat, jangan perlakukan saya seperti ini!”
Alvin meremas kedua tangannya, seolah menahan agar tubuhnya tak terjatuh. Ia tak berani melihat wajah Faya, bahkan untuk sekadar membela diri pun tak sanggup. Mulutnya dibisukan oleh rasa bersalah.
“Kenapa Anda diam saja, dokter?”
Alvin mengangkat wajahnya, mencoba memberanikan diri melihat mata Faya yang telah sembab dan bengkak. Sorot mata yang membuatnya kian tertusuk.
"Aku melakukan itu bukan karena rasa kasihan, Fay."
"Lalu karena apa?" Kali ini nada suara Faya sedikit lebih tinggi, menunjukkan ia tidak lagi mampu menahan emosinya.
"Apakah saya seperti perempuan yang tidak bisa hidup mandiri, atau bahkan Anda tahu bahwa saya hampir mati, sehingga Anda lakukan semua ini?" Lagi Faya bertanya dengan suara lantang. Ia tidak lagi melihat siapa Alvin dan siapa dirinya.
Alvin maju satu langkah mendekat, ia menatap wajah Faya dengan sangat dalam.
“Kau ingin tahu alasannya?” kali ini suara Alvin tak kalah lantang, untuk pertama kalinya ia harus meluapkan emosi di depan seorang perempuan. Ia bahkan menatap Faya dengan tajam, mengintimidasi bahkan seolah mengikat agar Faya tak mengalihkan diri dari tatapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai)
RomansaAlvin, dokter spesialis emergency yang jenius, tapi tidak tahu cara memperlakukan wanita dengan hangat. Dia sangat dingin, namun punya wajah dan postur tubuh yang sempurna. Dia jatuh cinta dengan penjaga loket UGD bernama Faya, sedang di saat yang s...