Faya menatap balsam pemberian Alvin. Entah sejak kapan begitu banyak kesempatan mempertemukan mereka. Ia pun tidak menyangka akan benar-benar terjerat hingga susah untuk lepas dari rasa itu.
Kedatangan Alvin seperti gerimis di padang pasir, seperti air hujan di tengah kemarau puluhan tahun. Jujur ia bahagia, degup dan getaran hangat itu sangat menyenangkan. Ia suka senyum itu, sikap sopan dan kebaikan yang Alvin berikan, hingga ia berharap lebih.
Tapi??
Kembali Faya menarik napas dan mengingat kembali siapa dirinya dan bagaimana posisinya di antara Alvin dan Vita."Tidak ya Allah, aku harus menghapus perasaan ini. Tidak boleh berharap." Gumamnya sambil menepuk-nepuk dadanya.
@@@
Pasar Minggu Vellodrome, Pukul 06.30 WIB
Alvin mengisi waktu liburannya dengan jalan-jalan di Pasar Minggu Vellodrome, sebuah wisata kuliner pagi hari. Pasar ini biasa menjadi ajang pamer produk makanan terbaru maupun yang telah beredar di pasaran, harga yang ditawarkan pun miring. Pasar kuliner ini hanya seminggu sekali, cocok untuk mengisi liburan.
Di deretan stan pojok sebelum area batas penjualan, Alvin melihat sosok yang membuat pandangannya terhenti. Faya ada di sana, menjadi salah satu penjual yang turut bersaing. Perempuan dengan jilbab toska itu sedang tersenyum lebar menawarkan makanan yang ia jual bersama seorang teman perempuannya. Senyum yang justru membuat dada Alvin terasa ngilu.
Senyum palsu, Alvin bisa melihat gadis itu tak sedang sungguh-sungguh tersenyum. Terbukti dengan beberapa kali ia menarik napas dalam-dalam, juga menepuk-nepuk dadanya. Alvin semakin intens melihat Faya, gadis itu mulai menunjukkan reaksi tak wajar. Dari jarak ia berdiri, Alvin bisa melihat wajah Faya pucat, bahkan sorot matanya meredup, nampak kelelahan.
Di tengah kerumunan orang yang terus berlalu-lalang, Faya berlari menerobos para pengunjung menjauhi stan demi stan yang berdiri di sana. Ia berlari menuju toilet umum yang terletak tak begitu jauh dari parkiran motor. Sedangkan Alvin berusaha mengikutinya dari belakang. Ia terus berjalan di belakang Faya, hingga perempuan itu berhenti dan menyandarkan tubuhnya pada pohon dekat toilet umum. Kedua tangannya memegang dada, napasnya mulai memberat.
Serangan asma itu datang kembali. Wajah pucat Faya mengeluarkan butir-butir keringan yang kian menderas, tubuhnya terguncang dan mulai terdengar suara mengi. Alvin yang melihat hal itu segera berlari mendekat.
“Faya!” suara Alvin memanggil sambil memegang kedua pundak Faya, mencoba menopang tubuhnya yang nyaris limbung.
Faya hanya melihat Alvin dengan mata sayunya. Lelaki itu datang lagi, di situasi yang sama. Tidak ada suara, Faya nyaris tak mampu mengendalikan tubuhnya saat sesak di dadanya kian kronik. Pandangannya mulai kabur, bahkan suara Alvin yang kian keras memanggil tak lagi mampu diserap telinganya. Detik itu juga, tiba-tiba semua berubah gelap. Pertahanannya telah runtuh dan ia jatuh tak sadarkan diri.
“Faya! Kau dengar aku!” suara Alvin nyaris meledak sambil menepuk-nepuk pipi Faya, namun tidak ada reaksi apa pun.
“Faya ...,” kekhawatiran itu kini tumbuh menjadi rasa takut.
Slide-slide RJP enam tahun lalu melintas, membuat Alvin ragu melakukan tindakan. Namun wajah pucat Faya, ingatan tentang Bu Yulia dan cerita hidup yang mereka alami, membuat Alvin tak ingin diam saja.
Alvin berusaha membuyarkan segenap kemelut di kepalanya. Ia segera mendekatkan telinganya pada wajah Faya, berharap ia mampu mendengar suara napas atau setidaknya merasakan hembusan napas lemah gadis itu. Namun harapan itu hanya mimpi belaka, Alvin kian cemas saat telinganya yang ia dekatkan dengan mulut Faya tak merasakan embusan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai)
RomanceAlvin, dokter spesialis emergency yang jenius, tapi tidak tahu cara memperlakukan wanita dengan hangat. Dia sangat dingin, namun punya wajah dan postur tubuh yang sempurna. Dia jatuh cinta dengan penjaga loket UGD bernama Faya, sedang di saat yang s...