Rimba Hati

342 34 4
                                    


Satu Tahun Kemudian


UGD, pukul 14.00 WIB

Alvin menarik napas lega melihat brankar didorong petugas kesehatan menuju ICU. Ia baru saja menangani pasien yang mengalami gangguan kardiovaskuler. Untuk menangani penyakit tersebut, Alvin membutuhkan bantuan dokter spesialis jantung. Kali ini ia tak bertindak sendirian di ruang penanganan darurat satu. Setidaknya tugasnya terbantu saat kelelahan demi kelelahan masih terus menyerang jika dia bekerja melebihi 8 jam di UGD.

“Kau tampak lelah, Dokter,” kata Dokter Manuel saat melihat wajah Alvin.

“Bekerja lebih dari delapan jam sering membuat saya pusing dan kelelahan, Dok.”

“Gak mau check up?”

Alvin tertawa menggelengkan kepala.

“Seorang Dokter UGD check up di poli umum hanya karena kelelahan ringan. Saya justru merasa malu jika melakukan hal itu.”

“Tapi, sepertinya kelelahan Anda tidak sekadar karena pekerjaan. Aku melihat Anda tidak punya semangat hidup, Dokter Alvin?”

Alvin tertegun mengerutkan alis. Ia ingat betul bahwa ia belum mampu sepenuhnya menghapus segala rasa terhadap Faya. Entah rasa bersalah, menyesal, atau apa pun itu yang membuat dadanya sesak tiap kali mengingatnya. Ia belum bisa keluar dari lubang itu. Ia masih terpenjara dalam ruang gelap dan tak tau kapan akan merangkak keluar dari sana.

Ia memang telah memasrahkan semua pada Allah. Ia tidak mencari tahu di mana Faya atau menghubunginya. Ia tak ingin lagi mengusik hidup perempuan berjilbab itu, juga tak ingin menyiksa hatinya setiap kali berhadapan dengannya. Namun, ia tak bisa bohong bahwa ia merindukannya. Rindu yang tak terungkap oleh kata.

“Apa ada masalah?” tanya Dokter Manuel.

“Oh, tidak ... hanya saja mungkin apa yang Anda katakan ada benarnya.”

“Solusi terbaik untuk Anda adalah menikah. Karena dengan adanya sosok istri, pastilah beban tidak akan terasa berat.”

Alvin tersenyum getir. Sosok yang pasti amat ia inginkan, tapi tidak tahu kapan waktu akan membawa sosok istri itu datang padanya. Faya kah? Entahlah, jujur perasaan itu masih ada, masih sangat sulit di buang, hanya saja Alvin masih terus berusaha melepas meskipun  belum sepenuhnya mampu.

"Anda sudah dapat undangan dari Dokter Vita?" Pertanyaan Dokter Manuel membuyarkan lamunan Alvin.

"Katanya dia akan menikah bulan depan. Aku tidak menyangka selesai ko-as dia langsung dapat jodoh. Anak sekarang memang mudah sekali memutuskan menikah." Kalimat Dokter Manuel diakhiri dengan tawa ringan.

Alvin sedikit terkejut namun menghela napas lega. Sungguh itu berita yang membahagiakan, mengingat Vita juga telah menyelesaikan pendidikan ko-as nya beberapa bulan lalu.

"Ini pertanda Anda harus segera menikah, Dok. Usia Anda sudah tiga puluh tahun. Jangan sampai disalip sama ko-as lagi. Sudah bukan saatnya menyeleksi lagi, harus cari yang terbaik."

Alvin tertawa mendengarnya.

"Aku bahkan tidak pernah melakukan seleksi."

Dokter Manuel mengerutkan alis bingung. Untuk ukuran lelaki setampan Alvin tidak pernah pacaran itu sungguh di luar logikanya, sedangkan dirinya yang berwajah pas-pasan saja diperebutkan banyak wanita sebelum menikah dulu.

"Lalu Anda belum ada calon?" Kini Dokter Manuel penasaran.

"Tidak ada, Dok. Barangkali Dokter mau mencarikan saya calon istri juga gak papa. Siapa tahu saya tertarik." Jawab Alvin setengah bercanda sambil menepuk punggung Dokter Manuel, lalu melangkah lebih cepat meninggalkan Dokter Manuel yang masih bengong.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang