Degup Jantung yang Berbeda

338 26 0
                                    


Inggil Museum Resto

Vita sudah berada di Inggil Museum Resto setengah jam sebelum waktu yang ia janjikan pada Alvin. Ia menunggu sambil melihat-lihat koleksi benda-benda antik dari Suku Jawa. Tak hanya itu di sana juga terdapat benda-benda peninggalan sejarah, seperti radio peninggalan Belanda, mesin jahit, dan masih banyak lagi yang siap memanjakan mata dan otak pengunjung.

Alvin datang tepat ketika Vita memutuskan untuk duduk di kursi pojok berdekatan dengan etalase yang berisi barang-barang antik di sana. Vita tersenyum melambaikan tangan. Penampilan Vita malam itu berbeda dari biasanya yang selalu identik dengan celana jins, tapi malam itu Vita mengenakan gaun sepanjang lutut berwarna toska, dan rambut sebahu yang diurai tanpa tambahan jepit atau bando. Sederhana tapi nampak begitu anggun, kecantikan yang membuat Alvin menundukkan pandangan.

“Silakan duduk, Dokter!”

Alvin mengangguk dan mengambil posisi duduk di depan Vita. Segera Vita menyodorkan lembar menu Inggil Resto yang sebagian besar menunya khas Jawa. Pelayan datang setelah mereka selesai memilih.

“Tunggu sebentar ya, Mbak, Mas,” kata pelayan tersebut setelah selesai mencatat, dan segera pergi menuju dapur resto.

“Untuk kedua kalinya, terima kasih, Dokter.”

“Kurasa kamu berlebihan dengan mengajak makan seperti ini,” sahut Alvin datar.

Vita tersenyum. “Sebenarnya ini atas saran Ayah dan Mbak Chairin. Mereka ingin kita tak seperti patung yang hanya kenal di UGD saja.”

Alvin terkejut, namun buru-buru ia mengalihkan pandangan.

“Oh, ya, bukankah Dokter ingin bertanya sesuatu?”

“Ya, betul. Ini tentang Bu Yulia. Kamu pasti tahu banyak tentang penyakit dan kondisi kehidupan beliau.”

Vita menautkan alis sedikit curiga. Tidak biasanya dokter UGD peduli pasien yang sudah menjadi tanggung jawab dokter spesialis.

“Emm ... cukup banyak, karena aku sudah berteman dengan Faya sejak kuliah semester satu dulu. Lalu apa yang ingin Dokter ketahui?”

“Apa benar-benar tidak ada pengendalian diabetes dari pihak keluarga? Maaf sebelumnya, tapi kata Dokter Salman, sudah komplikasi berat.”

Vita terkejut, mendadak kekhawatiran menyergapnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. Ia putar kembali memori masa-masa kehidupan sulit sahabatnya.

“Faya hidup berdua bersama ibunya sejak dua tahun lalu. Hidup mereka serba kekurangan karena ibunya tak lagi mampu bekerja setelah diabetes tipe dua itu menyerang. Sehingga Faya yang harus banting tulang untuk kuliah dan pengobatan ibunya. Faya tak punya banyak waktu untuk mengawasi pola makan ibunya. Ditambah ibunya sosok yang pelupa berat. Dulu ketika masih kuliah, ibunya sering sakit bahkan jari tangannya pernah diamputasi. Faya sendiri pasrah dengan keadaan itu, mengingat tak banyak yang bisa ia lakukan.”

Alvin menahan napas sesaat, berat rasanya mendengar cerita tersebut. Sedang Vita sendiri kembali menarik napas, ia memang tak merasakan beratnya hidup yang dijalani sahabatnya itu, tapi ia tau bagaimana perasaan Faya hidup dalam kondisi seperti itu.

“Ayahnya orang yang acuh, tidak banyak membantu bahkan sering mengabaikan keluarga, sehingga Faya putuskan untuk kuliah sambil kerja. Sebelum perceraian itu datang, hidup Faya memang sudah sulit. Di balik sosoknya yang penuh semangat itu, dia menyimpan beban berat yang tak mampu ia bagi dengan orang lain, bahkan aku sekali pun.”

Alvin menundukkan kepala, menyalakan layar iPhone untuk sekadar menutupi rasa ibanya.

“Satu hal yang bisa kulakukan untuk Faya hanya doa. Aku berharap besar seseorang akan datang dalam hidupnya untuk menggantikan bebannya selama ini dengan kebahagiaan.”

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang