Terjebak

311 23 0
                                    


...

Pagi yang mendung, Faya duduk di halte menunggu angkutan yang menuju rumah sakit, hanya saja hingga pukul tujuh tidak ada angkot yang lewat, ditambah pula gerimis kian intens dan rapat. Bodohnya pula Faya tidak membawa payung atau jas hujan. Tidak mungkin berlari menerjang hujan menuju rumah sakit yang jaraknya sekitar tiga kilo meter dari kontrakannya.

Beberapa kali Faya melihat jam di pergelangan tangannya dengan panik. Jam setengah delapan sudah harus absen kehadiran, jika terlambat ia bisa potong gaji. Ia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi karena masih punya banyak hutang dari pengobatan ibunya dulu.

Serasa mau mati. Faya menggaruk-garuk kepalanya yang tertutup jilbab, kepanikan akut mulai menyerang dan hujan pun mulai lebat.

"Masak harus potong gaji lagi sih? Padahal kemaren sudah kepotong." Gerutunya kesal.

Beberapa detik kemudian sebuah mobil berwarna putih merapat di dekat trotoar, tepat di depan halte.

Faya terkejut saat kaca jendela mobil itu terbuka. Dokter Alvin.

"Naiklah! Kamu bisa terlambat."

Deg..
Faya tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Tidak mungkin dia naik mobil itu, bagaimana jika Vita tahu atau teman-teman di rumah sakit melihat dia numpang di mobilnya Alvin? Pasti akan menjadi desas-desus besar.

"Kenapa? Kamu tidak mau naik? Tidak ada angkot di belakang. Kamu bisa terlambat."

Ya Tuhan, Faya bingung setengah mati. Bagaimana ia harus menahan rasa gugup dan canggung selama dalam mobil itu, tapi jika ia tidak naik tentu ia akan terlambat. Sedang Alvin masih menunggunya memberi keputusan.

Kenapa harus Alvin yang memberinya tumpangan?

"Eee.. Baiklah."

Faya berusaha menahan kegugupannya. Jangan biarkan setan bermain dalam situasi seperti ini.

Demi menjaga hati, Faya pun naik mobil itu, hanya saja ia memilih duduk di kursi belakang sendirian. Tentu hal ini ia lakukan untuk menghindari fitnah, juga menahan degup jantungnya yang nyaris runtuh.

Kenapa harapan kecil itu kembali datang di saat seperti ini.

...

Sejujurnya tidak hanya Faya yang gugup, Alvin pun merasa begitu canggung dan aneh. Sejak Faya masuk mobilnya dan duduk di kursi belakang, Alvin merasa seluruh tubuhnya terbelenggu. Ia bahkan merasakan ritme jantungnya naik.

"Haruskah aku memulai percakapan? Tapi apa yang bisa kutanyakan? Kenapa aku jadi gugup begini. Kenapa tiba-tiba aku jadi sebodoh ini?" Batin Alvin bertarung dengan pikirannya.

Sedang Faya memilih melihat keluar jendela untuk menahan hatinya. Ia pun tidak berniat memulai percakapan, Faya hanya ingin segera sampai rumah sakit dan berlari menjauh.

"Aku tidak menyangka hujannya sederas ini." Gumam Alvin mencoba mencairkan suasana yang tegang.

Faya mengalihkan pandangan kedepan, ia bisa melihat Alvin dari jarak yang sangat dekat, punggungnya yang bidang, tangan kokoh dan putih yang sedang menyetir, juga telinganya yang nampak sedikit merah. Ya Tuhan, semua pemandangan itu membuat jantungnya nyaris meledak. Faya pun segera mengalihkan kembali pandangannya pada jendela.

"Ya Allah, maafkan aku." Jerit hati Faya sambil meremas kedua tangannya yang mendadak terasa dingin.

"Kenapa tadi aku mengiyakan naik mobil ini. Tahu begini situasinya lebih baik aku lari dan kehujanan saja." Gerutu Faya dalam hati, menyesal.

"Ternyata rumahmu tidak jauh dari rumah sakit." Kata Alvin yang tahu bahwa Faya nampak malu dan gugup. Dari kaca spion depan itu dia bisa melihat semua gerak-gerik Faya.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang