...Vita terdiam kaku mendengar kabar dari ayahnya terkait rencana perjodohan yang dibatalkan secara sepihak oleh keluarga Alvin. Dokter Hendra memang tidak mengatakan alasan sesungguhnya kenapa rencana itu tidak ingin dilanjutkan. Ia hanya mengatakan bahwa sudah bukan saatnya orangtua mengatur alur kehidupan yang digambar oleh anak-anaknya. Memang bukan alasan yang masuk akal untuk diterima, tapi dokter Hendra tak ingin memberi harapan yang belum pasti pada keluarga Vita. Mengingat Alvin sendiri menolak rencana tersebut.
“Jadi? Perjodohan itu gagal? Alasannya apa?” tanya Chairin nampak amat kecewa. Sedang Vita memilih duduk menundukkan kepala.
“Hendra tidak mengatakan dengan jelas, yang pasti ia tak ingin ikut campur urusan kehidupan anaknya. Ia ingin Alvin menentukan hidupnya sendiri.”
“Maksud Ayah, Dokter Alvin secara tak langsung menolak Vita?” kini ibunya Vita turut bertanya dalam kondisi yang kecewa pula.
“Sepertinya begitu.”
Seperti ada ribuan tombak yang menghujam jantung Vita. Menolak? Jadi firasat bahwa Alvin tak pernah melihat bahkan tertarik dengannya itu adalah benar? Padahal selangkah pun ia belum berjuang. Vita belum menunjukkan apa pun tentang perasaannya pada Alvin, tapi penolakan itu telah ia terima. Seharusnya ia yang memutuskan, bukan Alvin. Setitik airmata meluncur.
“Kenapa menolak? Apa Vita kurang cantik? Apa kekurangan Vita sampai dia menolak? Atau mungkin Dokter Alvin menyukai perempuan lain?” tanya Chairin dengan emosi yang meluap.
Menyukai orang lain? Mendadak jantung Vita berhenti berdetak sesaat. Pikirannya langsung menelusuri alur demi alur kehidupan Alvin di rumah sakit. Ia tak menemukan adanya hubungan antara Alvin dengan seorang perempuan, kecuali Faya.
Kenapa begitu sakit menyebut nama itu.
“Mungkin dia memutuskan untuk memilih sendiri siapa yang berhak menjadi istrinya. Mungkin juga dia tidak menyukaiku. Jadi, tidak usah dipaksakan untuk rencana yang belum pasti,” sahut Vita, lalu berdiri dari duduknya, bermaksud untuk meninggalkan ruang tamu.
“Tidak bisa begitu Vita! Kamu harus mencari tahu apa alasannya,” sahut Chairin setengah membentak.
“Cukup, Mbak! Aku tidak mau mempermalukan diriku di depannya. Tidak mau menjadi pengemis yang seolah tak ada lelaki lain di dunia ini selain dia,” tegas Vita, dan perlahan airmata itu kembali menggores pipinya.
Chairin mendekatinya. Berdiri di depan Vita dan menatap adiknya dengan tatapan sengit. Sedang ayah dan ibunya memilih diam.
“Lihat! Kamu menangis. Berarti kamu menyukainya.”
Seketika Vita tertunduk. Ia tak bisa membohongi dirinya dan orang lain bahwa ia telah menyukai Alvin entah sejak kapan. Chairin pun memegang pundak Vita, mencoba memberi dukungan.
“Dengar Vita! Aku tak pernah memaksamu untuk mengemis cinta. Tidak sama sekali, hanya saja kamu harus memperjuangkan cintamu jika memang kamu merasa takut kehilangannya. Aku tak ingin kamu menyesal kelak karena belum melakukan apa pun. Setidaknya kamu cari tahu alasan dia menolak. Mbak tahu betul Dokter Alvin lelaki yang sangat baik. Mbak yakin ia tak akan melakukan hal bodoh yang akan menyakiti orang lain.”
Vita hanya tertunduk menahan airmata agar tak jatuh lagi.
“Sudahlah! Masih banyak lelaki di luar sana yang lebih baik. Tak usah berharap pada yang tak pasti. Ayah tak mau melihatmu tersiksa seperti ini, lagian ini juga masih rencana, jadi tidak perlu diambil hati terlalu dalam.” sahut ayahnya geram.
“Ayah! bukan seperti itu caranya menyelesaikan masalah!” sahut Chairin tak mau kalah.
"Ini semua menjadi rumit karena Vita terlanjur berharap banyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai)
RomanceAlvin, dokter spesialis emergency yang jenius, tapi tidak tahu cara memperlakukan wanita dengan hangat. Dia sangat dingin, namun punya wajah dan postur tubuh yang sempurna. Dia jatuh cinta dengan penjaga loket UGD bernama Faya, sedang di saat yang s...