Dunia yang Berbeda

427 35 1
                                    


...

Jalan Papadayan, rumah No. 32

Rumah minimalis dengan luas bangunan 36 meter kuadrat, memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Rumah cukup sempit yang sudah lima tahun terakhir ini dihuni oleh Faya dan ibunya.

Enam tahun sudah ia hidup hanya dengan ibunya, menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya bercerai dengan ibunya karena tak mampu menanggung biaya pengobatan ibunya yang sakit-sakitan. Meskipun tak sering masuk rumah sakit, tapi penyakit diabetes militus yang diderita ibunya cukup menguras uang, dan alasan itu yang membuat ayahnya pergi. Perceraian kedua orangtuanya menjadi pukulan besar bagi Faya.

Setelah kepergian ayahnya, ia banting tulang untuk membiayai kuliah dan tentu pengobatan ibunya. Kehidupan yang sulit tak membuatnya patah arang, ia tetap Faya yang semangat dan kuat seperti dulu.

“Bagaimana pekerjaanmu di rumah sakit, Fay?” tanya sang ibu yang lagi memotong sayuran.

“Alhamdulillah baik, Bu. Masih seperti biasa. UGD menjadi pasar bagi Saiful Anwar.”

Ibunya tersenyum, tapi senyum tersebut pudar saat melihat bekas luka jahitan di lengan tangan kanan Faya. Luka yang cukup panjang dan membekas. Luka yang ia dapat enam tahun lalu saat kecelakaan itu hampir merenggut sisa hidupnya. Faya ingat betul bagaimana dirinya dan Vita terlempar dari motor dan menghantam bibir trotoar. Kejadian itu masih menjadi trauma menyiksa baginya.

Ibunya memandang luka tersebut dengan wajah khawatir.

“Semoga tidak menjadi masalah ketika kamu menikah nanti.”

Sontak Faya menelan ludah terkejut. Menikah? Betapa kata itu begitu berat untuk diucapkan, bahkan untuk sekadar dipikirkan.

“Maksud Ibu apa?”

“Hanya sedikit khawatir jika suamimu nanti kecewa melihat beberapa bekas luka jahit di tubuhmu.”

Faya terkekeh. Ada-ada saja yang dipikirkan ibunya itu. Suami dari mana? Bahkan memikirkan siapa yang bersedia menikahinya saja begitu sulit, lalu bagaimana status suami itu ia dapatkan? Faya tersenyum getir, ada yang sesak di dasar hati. Sejujurnya ia juga mulai berpikir, kapan sosok itu akan datang mengobati cinta palsu ayahnya? Menjadi teman perjuangan yang akan sedikit meringankan beban pikirannya. Tapi, ah, pertanyaan semacam itu selalu berusaha ia tepis saat melintas di benaknya.

“Ibu ini ngomong apa sih, aku bahkan belum memikirkan hal itu,” tepis Faya menahan sesak yang entah sejak kapan merambat memengaruhi ritme jantungnya. Ia ingat betul bagaimana sikap ayahnya dulu, ketika kasih sayang dan cinta itu telah lenyap hanya karena kondisi ekonomi keluarga.

Ibunya memegang pundak Faya, tersenyum berat. Menahan air mata yang selalu ingin tumpah saat memikirkan masa lalu yang kelam itu, juga bagaimana masa depan anaknya nanti.

“Perempuan yang baik hanya untuk lelaki yang baik. Ibu yakin Allah akan memberikan lelaki terbaik untukmu, Nak.”

Faya tersenyum mengangguk.

@@@
 

Sirine mobil ambulance membuyarkan beberapa petugas rumah sakit yang tadinya masih bersantai, mengingat matahari baru beberapa saat yang lalu terbit. Segera dengan penuh kesiapan mereka membantu petugas ambulance untuk menurunkan brankar pasien dari dalam ambulance.

Pasien adalah seorang buruh bangunan yang mengalami cedera karena jatuh dari lantai dua. Terjadi Fraktur Comminuted[1] pada tungkai kanan bawah akibat membentur benda tajam saat ia terjatuh. Petugas ambulance telah memasang perban pada tungkai dan imobilisasi menggunakan bidai plastik.

“Tekanan darah 90/60, denyut nadi 110. Pasien terjatuh dari lantai tiga saat sedang melakukan pengecetan,” papar petugas ambulance pada seorang perawat yang saat itu membantu membawa pasien memasuki UGD.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang