Selamat Jalan Ibu

333 32 0
                                    

...

Malam itu Vita tidak bisa tidur, setiap ia hendak memejamkan mata bayang-bayang Alvin datang. Alvin yang tersenyum, yang dengan sigap membantu dia di UGD, yang setiap kata kasar dan tegasnya justru menjadi bintang-bintang di langit. Sungguh jatuh cinta membuat seseorang nyaris seperti orang gila.

Padahal lelaki itu belum melakukan apa pun, tapi kenapa Vita seperti sudah mendapat panggung. Kenapa begitu mudah hati itu goyah, padahal selama ini Vita termasuk tipe gadis yang susah untuk didekati, meskipun sudah pernah berpacaran tiga kali, tapi tidak ada yang sampai membuat Vita berdegup sekencang ini.

"Aku tidak yakin bisa melewati hari esok di UGD." Gumamnya sambil tertawa sendiri, lalu membantingkan tubuhnya di atas kasur.

@@@

Di sisi lain Alvin yang baru saja keluar dari mobil lekas berlari menuju UGD. Bahkan ia memakai jas dokternya sambil berlari saking daruratnya pasien yang harus ia tangani pagi itu.

Faya yang sudah berdiri di balik loket UGD, cukup terkejut melihat Alvin yang berlari menghampiri brankar pasien yang baru tiba dengan mobil ambulance.

Tubuh tinggi dan punggung yang lebar itu entah kenapa membuat debaran tersendiri di hatinya. Faya tidak mengenal dekat siapa Alvin, hanya dua kali duduk dengannya untuk membicarakan kondisi ibunya. Tapi hampir setiap hari ia melihat bagaimana Alvin beraktivitas di UGD. Dia lelaki yang hangat dan baik, meskipun nampak angkuh di luar tapi ia sangat tulus saat merawat pasien-pasiennya. Perasaan itu kian tumbuh setelah Faya melihat bagaimana Alvin memperlakukan ibunya.

"Ada gosip jika Vita lagi dekat dengan dokter Alvin." Bisikan Gina yang seketika membuyarkan lamunan Faya.

"Ada perawat yang tadi malam melihat mereka makan bersama di resto. Aku rasa mereka akan jadi pasangan serasi di UGD ini." Papar Gina sambil membayangkan drama Korea yang sering ia tonton di sela-sela jam istirahat kerja.

Faya hanya tersenyum menanggapi pernyataan Gina. Ia memilih kembali fokus menekuni pekerjaannya.

Di jam makan siang Faya datang menjenguk ibunya di ruang rawat tingkat tiga yang gedungnya terletak di belakang gedung UGD. Kondisi ibu semakin turun, jika beberapa hari lalu ia masih makan dengan lahap, tapi kali ini ia hanya sedikit makan dan lebih banyak tidur.

Tiap melihat kondisi ibu, Faya pasti ingin menangis. Ia tak bisa membayangkan jika harus kehilangan ibunya. Baginya ia rela bekerja sekeras apa pun bahkan mengorbankan masa depannya asal ibu sehat kembali. Selama ini hidupnya sudah sangat sulit, ayah yang tidak bertanggungjawab dan menceraikan ibunya saat ibunya sakit-sakitan. Bagi Faya, kehidupan remajanya sudah cukup menjadi bukti bahwa ia kuat asal masih ada ibu di sampingnya.

"Kamu sudah datang." Suara ibu lirih sambil tersenyum melihat kedatangan Faya.

Faya menggeret kursi dan duduk di samping brankar. Ia melirik nampan berisi makanan yang masih utuh di atas meja.

"Kenapa ibu tidak makan?"

"Ibu tidak lapar."

Faya mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. Sudah tiga hari ibunya bahkan tidak ingin makan dan hanya mendapat asupan energi dari infuse maupun sedikit air yang ia minum.

"Ibu harus makan, harus sembuh. Katanya ibu ingin menyaksikan aku menikah. Jadi ibu harus sehat, agar ibu bisa bantu aku carikan suami." Kata Faya berusaha menahan airmata. Ibunya sedikit terkejut dengan kalimat itu, karena tidak biasanya Faya menyebut-nyebut tentang pernikahan.

"Apa kamu sudah ingin menikah?"

"Siapa yang tidak mau menikah? Semua wanita pasti ingin menikah." Jawab Faya sambil menyuapkan sesendok nasi untuk ibunya.

Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang