POV 1Episode : Faya
Sebelum pertemuanku dengan Alvin, bagiku hidup ini seperti buku usang yang terselip di sudut perpustakaan, bersampul buram dan berkertas kusam. Tidak ada yang tertarik untuk mendekat apalagi membacanya. Dari sampulnya saja sudah tidak menarik, apalagi isinya. Tapi Alvin, satu-satunya orang yang bersedia datang dan membacanya, bahkan dengan senang hati ia membersihkan debu di permukaan sampulnya. Sungguh kehadirannya bagaikan oase di tengah padang pasir yang tandus.
Seperti kata Mbak Veve bahwa ‘Takdir Allah selalu lebih baik dari prasangka dan doa kita. Pun Alvin, ia lebih dari sekedar doa-doa yang kupanjatkan selama ini. Bahkan mungkin dulu aku malu untuk berdoa meminta pasangan hidup, saking beratnya hidup yang harus kujalani bersama ibu. Dia hadiah terindah yang Allah berikan, yang kehadirannya mengobati seluruh luka yang pernah ada.
Alvin mencintaiku dengan tulus, ia bahkan tidak punya ekspektasi apa-apa terhadapku. Setiap saat ia hanya punya rasa syukur memilikiku. Entah kebaikan macam apa di masa lalu yang kulakukan hingga Allah titipkan suami yang begitu luar biasa bagiku. Aku merasa seorang chinderella yang hidup bersama pangeran. Tidak ada lagi kata-kata yang tepat untuk menggambarkan syukur dan bahagiaku.
.......
Kutarik napas dalam-dalam sambil menghembuskan pelan. Tak terasa sudah setengah jam berlalu aku duduk di sini menunggu Alvin selesai kerja. Setelah menikah ia melarangku untuk bekerja apa pun itu, katanya ia ingin aku menghabiskan waktu hanya untuk melayaninya, tidak boleh terduakan oleh aktivitas lain. Jujur awalnya aku bingung karena selama ini hidupku memang sibuk dengan pekerjaan sana-sini, kalau berhenti apa yang akan kulakukan di rumah? Tapi pada akhirnya aku pun hanya bisa mengangguk.
“Ay!” kudengar suara hangat itu dari belakang. Aku tersenyum melambaikan tangan.
Tubuh tinggi, kulit putih, otak cemerlang dan jas dokter yang ia kenakan, sungguh hingga detik ini aku masih sangat mengaguminya. Ia tetap dokter Alvin yang ditakuti sekaligus dikagumi oleh para koas.
“Sudah lama menunggu?” Alvin seketika duduk di sampingku.
“Sekitar setengah jam.”
“Apa kamu bosan?”
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala, dan seketika itu ia mengelus kepalaku yang terbungkus jilbab sepanjang dada berwarna toska. Hal kecil yang selalu ia lakukan dan jujur aku merasa itu ungkapan kasih sayang yang tulus.
“Mas sudah selesai tugas?”
Alvin tersenyum mengangguk sambil melepas jas putihnya, “Ada beberapa pasien sih, cuman sudah kuserahkan pada para koas.”
“Kalau pasien darurat sebaiknya jangan ditinggal.”
“Ada dokter jaga yang bertugas hari ini, jadi tidak perlu khawatir.”
Aku tersenyum lega.
“Oya, hari ini kita mau kemana? Kita menginap di luar kota yuk!” wajah Alvin nampak bersinar saat mengatakannya, kurasa ia sudah sangat bosan setiap hari berkutat dengan UGD.
“Di mana?”
“Hemm.. kemana saja asal hanya kita berdua.” Jawabnya diakhiri dengan tawa.
“Aku ingin sejenak melepas semua beban pikiran dan pekerjaan yang melelahkan, ingin semua waktu cuman buat istriku seorang.”
Aku yang kini tertawa sambil memukul ringan punggungnya.
“Jangan menggombal! Ini masih di lokasi kerja, nanti kalau ada yang dengar gimana? Kan malu.” bisikku, dan justru kalimat itu dibalas rangkulan erat dari Alvin, seolah tidak ada orang di sekitar kami. Ah, sungguh entah kenapa saat bersamaku dia begitu manja seperti anak kecil, bahkan bayi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai)
Любовные романыAlvin, dokter spesialis emergency yang jenius, tapi tidak tahu cara memperlakukan wanita dengan hangat. Dia sangat dingin, namun punya wajah dan postur tubuh yang sempurna. Dia jatuh cinta dengan penjaga loket UGD bernama Faya, sedang di saat yang s...