Mobil Alvin berhenti di bibir trotoar Jalan Jaksa Agung Suprapto, di depan deretan ruko, sekitar 200 meter sebelum rumah sakit Saiful Anwar. Ia sengaja menghentikan mobilnya karena melihat arus lalu lintas di depannya begitu padat, tak ada celah untuk menerobos. Mungkin karena hari Senin, sehingga begitu banyak pengguna jalan beraktivitas. Di sebelah kiri terdapat halte. Sebuah angkutan kota berwarna biru berhenti di sana, dan seorang perempuan berjilbab turun dari angkot. Tidak asing, Alvin tak sengaja menangkap sosok itu. Ya, sosok yang beberapa hari lalu bahkan hingga saat ini mendadak menguasai pikirannya. Faya, perempuan itu memutuskan untuk jalan kaki menuju rumah sakit, karena kondisi jalan yang macet tak memungkinkan untuk angkot yang ia naiki bergerak maju.
Alvin terus memperhatikannya dari dalam mobil. Di ujung sana, Faya tersenyum sambil memberikan uang pada sang sopir, senyum yang biasa ia lihat ketika di rumah sakit. Senyum yang seolah tak memiliki beban apa pun. Senyum yang membuat Alvin tertegun sesaat, juga senyum yang mengingatkan dia akan harapan Bu Yulia sebelum meninggal. Memang bukan suatu amanah yang menuntutnya, tapi melihat kondisi Faya saat ini bukan sesuatu yang mudah untuk mengabaikan keinginan tersebut.
Alvin memijat-mijat pelipisnya, menarik napas panjang. Ia tidak perlu terlalu serius memikirkan keinginan orang yang sudah mati, tapi Alvin merasa tercekik tak mampu mengabaikan hal itu. Entah bagaimana cara hatinya yang terkunci itu begitu mudah didobrak hanya karena rasa kasihan.
“Ya Allah apa yang harus kulakukan?” Ia memusatkan kembali visualnya pada jalan di depannya yang mulai longgar, dan mobilnya pun bisa melaju.
Sesampainya di rumah sakit, Alvin menuju meja loket untuk absen dan mengecek apakah tugas perawat yang ia berikan kemarin sudah selesai semua atau sebaliknya. Di meja loket sudah ada Faya dan seorang kepala perawat. Faya sedang sibuk di depan komputer, sedang kepala perawat sedang menulis entah apa dalam buku besar.
“Selamat pagi,” sapa Alvin dengan senyum.
Kepala perawat dan Faya segera mendongak dan tersenyum membalas sapa Alvin. “Pagi, Dokter.” Faya yang berada di dekatnya hanya tersenyum.
Alvin sesaat melihat Faya, pandangan mereka saling bertemu untuk beberapa detik. Alvin sedikit terkejut, ia melihat sorot mata kesedihan itu masih ada di sana, membuat senyum yang Faya berikan pun terasa hambar. Sudah dua minggu setelah kepergian Bu Yulia, dan goresan kesedihan itu masih terlihat jelas di sorot matanya. Beberapa detik setelah tatapan yang saling bertemu itu, Alvin segera mengalihkan pandangan. Ia mulai memfokuskan pada buku besar yang berada di depan kepala perawat.
“Hari ini ada jadwal tes untuk para ko-as, Dokter,” kata kepala perawat.
Alvin mengangguk, dan tak lama dari itu Vita berjalan mendekati meja loket. Dengan sedikit rasa canggung karena ada Alvin di sana, Vita berusaha tersenyum lebar menyapa Faya.
“Jam pertama, di ruang penanganan darurat tingkat dua, ada lima pasien yang sedang menunggu untuk ditangani. Kuserahkan mereka padamu, lakukan analisis sebaik mungkin, diagnosa dan pengobatan yang benar, lalu hasilnya berikan padaku sebagai tes hari ini untuk Anda, Vita.”
Degg! Vita melotot kaget, baru saja datang sudah mendapat perintah penanganan yang tidak sekadar satu pasien, tapi lima. Sontak Vita menoleh ke arah Faya yang ketika itu hanya tersenyum.
“Ada yang salah dengan perintahku?” tanya Alvin tegas.
“Ee ... tidak, Dokter,” jawab Vita agak lemas.
“Oke, aku tunggu hasilnya, secepatnya!” tambah Alvin penuh penekanan pada kata terakhir, lalu ia pun meninggalkan loket menuju ruang kerjanya, meninggalkan Vita dalam keadaan mematung kaget.
“Waahh ... sarapan pagi dari UGD, Mbak Vita,” kata kepala perawat.
Vita menunduk, menghela napas lemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai)
RomansaAlvin, dokter spesialis emergency yang jenius, tapi tidak tahu cara memperlakukan wanita dengan hangat. Dia sangat dingin, namun punya wajah dan postur tubuh yang sempurna. Dia jatuh cinta dengan penjaga loket UGD bernama Faya, sedang di saat yang s...