Vita duduk mendekap kedua lututnya sambil menatap langit malam di halaman belakang rumahnya. Sudah seminggu ini rasa takut dan cemburu menghantuinya, pun ia merasa tidak bisa menjadi dirinya sendiri karena harus berbohong tiap kali berdiri di depan Faya.Sungguh hatinya sedang tidak baik-baik saja, hanya saja ia masih berusaha menguatkan diri untuk bertahan sekalipun jalan yang ia lalui hanya seutas tali.
@@@
Jalan Sulfat Agung 6 No. 32 A
Alvin menarik napas dalam-dalam ketika tubuhnya telah berhadapan dengan ayah dan ibunya di ruang tengah. Ia berniat untuk mengutarakan keputusannya. Ia sudah salat, sudah melihat banyak hal, dan apa yang telah terjadi merupakan jawaban Allah atas keraguannya selama ini.
Ia tak ingin rencana perjodohan dengan Vita itu benar-benar berlanjut hingga membuatnya tak lagi mampu melakukan apa pun. Sedang di luar sana, ada seseorang yang membutuhkannya. Meskipun tidak langsung, tapi keinginannya untuk menolong Faya jauh melebihi ketakutannya terhadap kondisi yang akan terjadi jika keputusan itu ia ambil.
“Apa yang ingin kau katakan, Vin? Sepertinya penting?” tanya ibu yang duduk di sebelah ayahnya.
“Apa kau telah mendapat keputusan?”
Alvin mengangguk. Ia mulai menarik napas kembali.
“Sebelumnya aku ingin tanya. Menurut Ayah dan Ibu, arti menikah itu seperti apa?” Alvin berusaha bicara setenang mungkin.
Ayah dan ibunya terkejut. Mereka sempat saling melihat antara bingung dan penasaran kenapa Alvin sampai bertanya begitu, namun ibunya segera tersenyum. “Apa yang membuatmu tiba-tiba bertanya begitu? Apakah ada sesuatu yang kamu takutkan untuk mengatakan pada kami?”
Alvin menundukkan kepala sejenak, lalu mengangkatnya kembali, memandang ayah dan ibunya bergantian.
“Jika seandainya aku tidak menginginkan perjodohan itu, apakah Ayah dan Ibu bisa menerima?” tanya Alvin berusaha sesopan mungkin.
Ayah dan ibunya kaget, tapi berusaha mengontrol emosi.
“Apa yang membuatmu tidak menginginkan hal itu, Vin? Apa kamu tidak menyukai Vita? Atau kau punya pilihan lain?” kini ayahnya buka suara.
Alvin menarik napas kembali, mencoba mengontrol perasaannya.
“Aku bukannya tidak menyukai Vita, juga bukan karena ada sesuatu darinya yang tidak bisa kuterima. Vita dan keluarganya baik, juga keinginan ayah untuk menjodohkanku dengannya adalah kebaikan, tapi…,” kalimat itu terhenti sejenak, Alvin berusaha kembali mengatur degup jantung dan pernapasannya, sedang orangtuanya masih penasaran menunggu lanjutan dari kalimat tersebut. “Aku tidak bisa melanjutkan perjodohan ini, karena ada seseorang yang lebih membutuhkanku.”
Mata Ayahnya terbelalak. “Maksud kamu apa?”
“Aku ingin menolong dengan menikahinya.” Kalimat itu terlontar dengan jelas dan penuh pengharapan.
Mendadak tubuh ibunya lemas. Alvin mengatakannya dengan sungguh-sungguh, sorot mata tajam berkaca-kaca itu sudah cukup membuktikan bahwa ia tidak sedang bermain-main, juga untuk pertama kalinya Alvin memohon seperti ini.
“Menolong bagaimana?” suara ibunya gemetar, segemetar tangan yang saling mencengkeram erat.
“Maafkan aku Ibu, tapi dia benar-benar membutuhkan seseorang dalam hidupnya. Dia sudah tak memiliki keluarga. Ibunya pernah menjadi pasienku, dan beliau sudah meninggal. Gadis itu hidup sendiri dengan kondisi ekonomi yang sulit. Aku ingin menemaninya.” suara Alvin yang awalnya penuh ketegasan kini goyah, ia tak lagi mampu mengatur napasnya yang terus memburu.
Seperti ada petir yang menghantam jantung orangtuanya, terutama ibunya. Tubuh wanita paruh baya yang sebelumnya duduk tegap, kini merosot, lemas. Apa yang sudah Alvin katakan adalah tindakan cukup gila. Profesi dan pendidikan tingginya terkalahkan hanya karena rasa kasihan.
“Tapi kenapa harus kamu?” tanya ayahnya lantang dengan wajah gusar.
Alvin tertunduk tak mampu bersuara kembali. Kenapa harus dia? Alvin bahkan tak tahu kenapa dirinya begitu ingin menolong atau mungkin membersamai gadis itu. Tidak ada alasan logis, hanya saja ia tak rela jika orang lain yang menggantikan posisinya.
“Katakan dengan jelas!”
“Aku, aku ...,” hanya kata itu yang mampu Alvin lontarkan. Ia tahu akan terjadi seperti ini, ia tahu betul orangtuanya akan marah, tapi ia tak pernah berpikir jika harus menjawab pertanyaan seperti itu. Tidak ada alasan logis yang bisa meyakinkan ayahnya.
“Hanya karena kasihan, lantas kamu ingin menikahinya? Menurutku ini tidak masuk akal, Alvin.” Sekuat tenaga ayahnya menahan emosi agar tidak meledak. Alvin sudah dewasa, sudah tahu betul mana yang terbaik, ia tak perlu menghujamnya dengan ribuan cacian dan kemarahan. Ia hanya ingin mendengar alasan kuat anaknya.
“Menikah itu bukan memberi pertolongan selayaknya kamu pada pasien. Menikah itu masa depan yang harus terbangun dengan baik, bukan berlandaskan pada rasa kasihan. Bukan Alvin! Ayah tau kamu orang seperti apa, tapi bukan seperti ini caranya. Menolong bukan berarti harus menikahinya. Bukan!” suara ayahnya tegas penuh penekanan.
“Tapi, bukankah Nabi pernah menikah untuk menolong, Ayah?” Alvin berusaha mencari pembelaan.
Ayahnya seketika berdiri, menatap Alvin tajam dengan wajah kecewa.
“Tapi kamu bukan Nabi, Alvin. Ayah tidak mau hanya karena keputusanmu ini kau akan mengalami kesulitan. Pikirkan kembali baik-baik sebelum memberi keputusan besar! Menikah bukan main-main, Nak. Kau tetap bisa menolongnya tanpa harus menikahinya,” tambah ayahnya, lalu melangkah pergi meninggalkan Alvin yang tertunduk menahan airmata.
Ibunya yang masih berada di ruang itu mendekati Alvin, lalu duduk di sebelahnya. Merangkul Alvin penuh kasih sayang.
“Ibu tidak tahu alasan kuat kamu ingin menikahinya, tapi apa yang dikatakan ayahmu benar, Nak. Menikah bukan atas dasar ingin menolong, apalagi rasa kasihan. Pikirkan juga bagaimana jika gadis yang ingin kamu nikahi itu tahu, alasan kamu sebenarnya menikahinya. Pasti dia akan kecewa. Ibu tidak mau hal itu terjadi.”
Alvin tak bersuara. Ia masih tertunduk dengan genangan air mata yang mulai menjatuhi kedua tangannya. Perlahan, ibunya memegang tangan Alvin yang telah basah karena airmata.
“Ibu tau keinginanmu mulia, ibu tau betul kamu ingin menolongnya, merasa punya tanggungjawab atas kebahagiaannya, tapi ibu juga tak ingin melihat pernikahan yang berjalan seperti itu. Allah memang memperbolehkan kita menikahi siapa pun, tapi satu hal bahwa kita harus bisa bertanggungjawab pada dia yang kita nikahi. Ibu takut di perjalanan nanti ada sandungan yang membuat hatimu ragu.”
Alvin mengangguk begitu saja. Ia tak lagi membantah atau mengatakan apa pun. Mendadak semua menjadi gelap dan membisu. Ia hanya butuh dukungan tapi ia tak mampu membantah sedikit pun nasihat ibunya. Mungkin ia harus berpikir ulang dan terus memikirkan ulang sebelum keputusan menikah itu benar-benar ia ambil.
@@@
Malam itu Alvin kembali datang menjenguk Faya, gadis itu masih menjalani terapi di ruang rawat tiga. Seperti biasa, ia tak langsung masuk ruangan karena takut jika Faya semakin canggung dan tidak nyaman.
Alvin ingat kembali bagaimana tanggapan orangtuanya akan keputusannya untuk membatalkan perjodohan itu. Ia mengaku salah, dan sangat bingung. Apakah sungguh itu alasan yang tepat atau justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan dirinya sendiri. Kenapa begitu bodoh menjadi lelaki?
Kini Alvin tertunduk menyesal. Seandainya Faya tahu akan niat itu pasti dia akan terluka. Lalu apa yang bisa dia lakukan? Ia bahkan belum mengutarakan perasaannya pada Faya.
Pada akhirnya malam itu ia memutuskan untuk berdiri lebih lama di depan pintu kaca, melihat Faya dari luar.
"Aku ingin mendekat, tapi aku takut jika kamu tidak nyaman dengan perasaanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Selalu Punya Cara Untuk Pulang (Selesai)
RomanceAlvin, dokter spesialis emergency yang jenius, tapi tidak tahu cara memperlakukan wanita dengan hangat. Dia sangat dingin, namun punya wajah dan postur tubuh yang sempurna. Dia jatuh cinta dengan penjaga loket UGD bernama Faya, sedang di saat yang s...