27 - Bekal

2K 345 93
                                    

11.20 ; Ruang kerja Bian

Hari ini cukup melelahkan bagi seorang Bian. Sesiang ini sudah ada tiga meeting yang dia lakukan. Semuanya memang membahas proyek final. Setelah ini selesai dia akan memulai proyek-proyek baru dengan koleganya yang lain.

Bian masih berkutat dengan komputer di depannya. Beberapa kali dia menggulir pergerakan mouse untuk mengarahkan kursor ke monitor. Dahinya berkerut melihat laporan keuangan bulan ini. Ada beberapa pengeluaran yang cukup membengkak. Namun, dia tetap berharap jika keuntungan yang dia terima bulan ini juga akan sebanding bahkan lebih.

Di sela-selanya yang sedang memeriksa laporan keungan itu, tiba-tiba ada ketukan pintu di luar sana.

"Masuk," kata Bian yang mengira itu adalah Darel atau sekretaris pribadinya. Dugaan Bian salah, ternyata bukan Darel, bukan juga karyawannya yang lain. Seorang perempuan masuk tanpa permisi, tanpa salam, hanya ketukan pintu tiga kali. Pandangan Bian yang semula menatap layar monitor saat ini menatap perempuan itu dengan terkejut. Tatapannya berubah tajam.

"Untuk apa Anda berada di sini?" tanya Bian to the point. Dia tidak suka berbasa-basi dengan perempuan yang berada di depannya ini. Iya, itu Dinda. Mantan istrinya empat tahun lalu. Untuk apa lagi dia datang?

Bian yang awalnya duduk saat ini berdiri dengan malas menemui perempuan yang berada di depannya itu. "Bisa kita memulai lagi semuanya?" kata Dinda dengan santainya. Dia mengusap dada bidang milik Bian seperti sedang merayu.

Bian dengan cepat menggelengkan kepalanya. Jika dia tega juga akan memukul Dinda secara membabi buta. Ingin Bian luapkan kesakitan yang dia rasakan selama empat tahun ini. Ditinggalkan oleh seseorang yang amat sangat dia cintai, harus menjadi Ayah sekaligus Ibu untuk putri kecilnya, menjadi tulang punggung keluarga. Lelah dirasakan sendiri, sakit diderita sendiri, apa yang menjadi alasannya untuk tidak marah dengan perempuan yang berjarak beberapa senti dari wajahnya ini?

"Aku kangen sama kamu, Bian," Dinda dengan cepat memeluk badan tegap yang berada di depannya itu. Bian tersentak. Perempuan yang berada di depannya ini sudah benar-benar gila.

Tanpa mereka sadari, ada seorang wanita di balik pintu sedang melihat kejadian ini semua. Wanita itu mundur satu langkah karena sudah tidak tahan lagi. Dia pergi berlalu meninggalkan sebuah pertunjukkan opera jenaka yang sedang dimainkan oleh dua pemeran utama laki-laki dan perempuan itu.

Dengan cepat Bian melepas dan menghempas tubuh Dinda agar menjauh darinya. Dia merapikan jasnya yang sudah sedikit berantakan itu.

"Jangan gila!" ungkap Bian dengan napas memburu.

Dinda menggeleng. "Aku ngga gila, aku emang kangen sama kamu," tatapan Dinda berubah sendu. Dia memang paling pandai dalam bermain peran semacam ini. Bagaimana cara dia memikat orang, bagaimana cara dia membuat orang iba, memang Dinda memiliki kelebihan manipulatif semacam itu.

Bian menarik napas panjang. "Dengan mudahnya Anda mengatakan itu semua? Ke mana empat tahun yang lalu? Meninggalkan bayi merah yang masih butuh kasih sayang seorang Ibu," sindir Bian pada Dinda sambil beberapa kali menunjuk.

"Apa Anda tahu apa yang saya rasakan? Apa Anda paham bagaimana hancurnya saya waktu itu? Anda adalah perusak kebahagiaan saya!" hardik Bian yang sudah emosi. Sedikit lagi perasaan marahnya memuncak.

Wanita di balik pintu sudah tidak ada. Dia tidak mendengar percakapan ini. Tuhan sedang merencanakan dua insan untuk salah paham rupanya.

"Saya dan Anda, kembali menjadi kita? Jangan mimpi!" cecar Bian pada Dinda yang saat ini menatapnya dengan tatapan nanar.

Luka yang Bian sembuhkan akhir-akhir ini juga belum kering total. Tapi, detik ini juga luka itu kembali menyeruak. Seolah kembali digoreskan agar menjadi luka yang baru. Setelahnya, disiram dengan air garam agar Bian benar-benar merasa kesakitan.

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang