Dinda menggeleng. "Ngga, biar aku temui sendiri," Nara lekas mengangguk. "Oh, iya, aku doain kamu cepat isi, ya. Masa tiga bulan menikah belum isi, dulu saya bulan kedua langsung isi, loh," cibir Dinda dengan santainya.
Deg.
Dari semua kalimat yang Dinda katakan sedari tadi, Nara masih bisa menahannya untuk tidak memaki dalam hati. Tapi untuk satu ini, Nara tidak bisa. Apa hak Dinda menanyakan hal semacam ini?
Mbok Nah yang melihat raut wajah Nara yang agaknya berubah langsung bertindak. "Mba Dinda silakan pulang, Nyonya juga tidak ada. Mbok permisi," tanpa berpikir panjang Mbok Nah langsung menutup pintu dengan sedikit keras. Persetan dengan sopan santun, Mbok Nah tidak sudi melayani tamu semacam Dinda.
Nara tersenyum kecut. Perkataan Dinda memang ada benarnya juga. Dia belum isi sampai sekarang. Ada yang salah? Nara pikir tidak ada. Memangnya pernikahan hanya semata-mata untuk memiliki anak? Nara pikir juga tidak.
Namun tidak dipungkiri, jika Nara detik ini langsung tertuju pada Bian. Jangan-jangan Bian sudah seingin itu memiliki anak, tapi Nara belum bisa memberinya keturunan. Mbok Nah lekas merangkul Nara. Dia tahu betul bagaimana perasaan seorang wanita yang disinggung hal semacam itu.
Mbok Nah dan Nara berjalan beriringan menuju dapur kembali. Nara terlihat biasa saja. Bukan, Nara berusaha untuk biasa saja. Padahal hatinya sudah sedikit hancur. Disinggung soal anak bukan merupakan keadaan yang mudah untuk diterima. Wanita mana yang akan biasa-biasa saja? Nara rasa tidak ada.
Nara kembali mengaduk adonan kue cokelat yang dia dan Mbok Nah tinggal beberapa menit tadi. Sedangkan Mbok Nah menyiapkan beberapa mangkuk yang akan diisi cream untuk diberi warna.
"Mba Nara ngga papa, kan?" celetuk Mbok Nah sambil menuangkan pewarna ungu ke dalam mangkuk berisi cream itu. Selanjutnya dia aduk agar warnanya tercampur dengan rata.
Nara lekas mengangguk. "Ngga papa, kok," jawab Nara yang kini tengah menuang adonan kue ke dalam loyang. "Emang kenapa, Mbok?" tanya Nara selanjutnya.
Mbok Nah pun membehentikan aktivitasnya sejenak. Dia menarik napas panjang seperti bersiap untuk bercerita. "Mbok takut Mba Nara kenapa-napa sama omongannya Mba Dinda. Dia emang gitu, Mba. Semoga Mba Nara ngga masukin omongan Mba Dinda ke hati, ya," ujar Mbok Nah yang memang sudah mengetahui sedikit banyak sifat dan perilaku Dinda.
Nara lekas mengangguk. Sebenarnya, semua omongan Dinda tadi sudah dimasukan ke dalam hati. Buktinya, saat ini dia tidak baik-baik saja, kan? Tapi, benar juga kata Mbok Nah. Hati Nara terlalu bersih untuk menerima dan memasukan omongan Dinda ke dalamnya.
"Ngga, Mbok. Saya tahu batas mana yang akan saya masukan ke dalam hati dan mana yang tidak," Nara tersenyum. "Ya, walaupun omongannya tadi ada benarnya juga," sambung Nara selanjutnya.
Mbok Nah menoleh ke arah Nara. "Mba, pernikahan itu bukan hanya tentang anak. Ada banyak rasa yang harus dihadirkan di dalamnya. Mba Nara ngga usah khawatir kalau di bulan ketiga ini belum isi, mungkin Allah lagi merencanakan Mba Nara suruh pacaran dulu," Mbok Nah tertawa di akhir kalimatnya. Nara pun ikut tertawa.
"Iya, Mbok," jawab Nara yang sebenarnya sudah tidak baik-baik saja sekarang.
Nara pun memasukan loyang-loyang itu ke dalam oven. Mbok Nah memerintahkan Nara untuk istirahat saja. Biarkan dia yang akan menunggu kue ini hingga matang. Akhirnya, Nara bergegas masuk ke kamar walaupun awalnya dia tidak mau. Namun, Mbok Nah memaksa. Mbok Nah paham betul ada sebuah perubahan sedikit dari perempuan yang berada di depannya.
-
Nara yang tengah duduk di pinggir kasur tiba-tiba tangannya bergetar hebat. Detak jantungnya tiba-tiba berdebar dengan cepat pula. Beberapa kali Nara meremas tangannya. Menarik napas panjang yang sudah sedikit tercekat itu. Nara tiba-tiba pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...