👻Twenty one👻

195 31 1
                                    

Halo, Call me Rein.

Spam hujan di sini!

Selamat membaca🤗

.
.
.

Alya sedang berada di depan hotel tempat Doni tinggal sekarang. Dia masih belum bisa percaya kalau orang yang sudah membunuhnya adalah Doni.

Perlahan tetapi pasti, Alya mulai melayang dan masuk ke dalam hotel itu. Dia naik ke atas hingga sampai di depan kamar Doni. Meski sedikit ragu, tetapi dia memutuskan untuk masuk. Tubuhnya menembus pintu dan masuk ke dalam kamar Doni.

Dia langsung melihat Doni yang tertidur pulas. Lelaki itu masih memakai seragam di tubuhnya. Bahkan, sepatunya saja belum dia lepas. Sepertinya, Doni sangat kelelahan sekarang.

Alya semakin tidak yakin kalau Doni pelakunya. Itu karena, setiap hari, Doni datang ke makamnya dan menangis di sana. Lelaki itu selalu datang dan membawa bunga melati kesukaannya seraya menangis meminta maaf.

Dia sebenarnya tidak mengerti kenapa Doni melakukan itu. Akan tetapi, setelah menemukan kalung tadi di gudang. Sekaligus, pernyataan dari buku Letta membuatnya paham apa maksudnya.

Alya hendak menghampiri Doni untuk mengganggunya. Gerakannya terhenti mendengar suara lirih yang Doni ucapkan dalam tidurnya.

"Maafin gue, Ya. Gue sayang sama lo. Gue terpaksa, Ya. Gue terpaksa," gumam Doni dengan mata tertutup. Kedua matanya meneteskan air mata.

Alya seketika diam membeku. Kenangan bersama kakak tirinya muncul memenuhi pikirannya sekarang. Dia mulai menangis dan lebih memilih untuk menghilang.

____

Shella tentu saja tidak percaya kalau Ketua OSIS di sekolahnya adalah orang yang membunuh Alya. Begitu juga dengan Putra yang sulit menerima fakta kalau kakak kelasnya yang terkenal gagah dan berwibawa ternyata seorang pembunuh.

"Gue tuh gak bisa di giniin. Kita harus labrak dan tanya Kak Doni sekarang juga!" teriak Shella hendak pergi, tetapi Putra segera mencegahnya.

"Tenang, Shel, tenang! Gue juga gak bisa nerima, tapi kita harus sabar. Besok aja kita tanyain sekalian sama Shirra dan Arga," ucap Putra berusaha memberi pengertian kepada kekasihnya.

"Lo harus bisa tenang!" Lanjutnya lembut.

Shella langsung meneteskan air matanya dan terisak. Putra yang melihat itu lantas membawa Shella ke dalam dekapannya.

"Kenapa orang yang ngebunuh Alya harus Kakak tirinya sendiri sih? Orang yang Alya suka? Kasian Alya. Kenapa hidup Alya sekejam itu, Put?" Shella menangis terisak di dalam pelukan kekasihnya.

Putra hanya bisa menggeleng dan mengeratkan pelukannya. "Gue juga gak tau, Shel. Gue gak tau, tapi gue yakin kalau tuhan udah siapin kebahagian buat Alya di atas sana."

"Iya, tapi Alya belum bisa ke atas sana, Put. Dia belum bisa tenang,"

"Makanya, kita harus nangkap pembunuhnya. Supaya Alya bisa tenang dan pergi ke atas sana,"

Shella mengangguk masih dengan isak tangisnya.

"Sekarang lo masuk ya. Mandi, makan, terus istirahat! Jangan terlalu di pikirin, entar jadi stres lagi." titah Putra seraya melepaskan pelukannya.

Shella mengangguk dan mengusap air matanya, "Iya, gue masuk dulu. Lo juga pulang! Hati-hati di jalan. Jangan ngebut bawa motornya!"

Putra tersenyum dan mengangguk, "Siap, Bos."

The Smoke of Despair (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang