Bagian Satu

1.3K 96 16
                                    

Terlalu bising di sini tetapi Langit tidak turut andil dalam menciptakan suasana penuh suara itu. Ia hanya sosok yang dianggap aneh yang duduk di pojok kelas sendirian. Tapi tentunya ia bukan setan.

Jam kosong akan selalu ramai seperti ini. Beberapa anak laki-laki sudah duduk di pojokan kelas di seberang Langit sembari bermain game di ponsel. Beberapa anak perempuan sudah duduk melingkar sambil bergosip, namun ada juga yang heboh di depan laptop, ia yakin mereka sedang menonton oppa-oppa, bukan oppa-oppa atau akik-akik tua tapi oppa-oppa tampan yang tinggal di Korea Selatan.

Langit tahu sebenarnya ini bukan jam kosong, hanya saja guru yang akan mengajar belum datang. Dapat ia pastikan beberapa menit lagi Bu Nikma, guru sejarah sekaligus wali kelasnya, akan datang. Tadi sewaktu ia masuk gerbang sekolah yang akan ditutup ia bertemu dengan Bu Nikma, beliau hanya menggeleng melihatnya yang hampir terlambat.

Seperti dugaan Langit sebelumnya sekarang Bu Nikma datang, tetapi beliau tidak sendiri di belakangnya ada sosok gadis yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Anak-anak kelas yang tadi kembali duduk di kursinya masing-masing.

"Selamat pagi anak-anak ibu tersayang," sapa Bu Nikma disertai senyuman lebar.

"Pagi, Bu."

"Pagi, sayang."

Berbagai sorakan terdengar dari penjuru kelas. Bu Nikma kemudian memegang bahu gadis tadi. "Anak-anak, ada teman baru untuk kalian. Ayo sayang perkenalkan dirimu!"

"Hai perkenalkan nama saya Jinggani Trindia, bisa dipanggil Jingga. Semoga saya bisa menjadi teman yang baik untuk kalian, terimakasih ...."

"Kalau aku panggil kamu sayang boleh?" tanya anak cowok yang namanya Ronde. Iya, namanya kayak nama minuman, wedang ronde. Ini Langit tidak bermaksud menghina namannya, ya.

"Jingga-Jingga kamu harus tanggung jawab! Kamu udah buat aku jatuh cinta pada pandangan pertama!" Kalau ini teriakan dari murid yang duduk paling depan, namanya Andi.

"Huuuuuu!" Anak-anak perempuan menyoraki Ronde dan Andi. Mereka berdua sudah terkenal sebagai buaya dari kelas 12 IPS 3, kelas Langit.

"Sudah-sudah! Jingga kamu duduk di sebelah Langit, ya!" Bu Nikma menunjuk kursi di sebelah Langit.

Beberapa sorot mata kini menatap Langit tidak terima sedang Langit hanya membalasnya dengan tatapan datar. Lontaran protes mulai keluar dari anak-anak cowok yang tidak terima. Sayangnya, Bu Nikma tidak menggubris mereka.

Jingga tersenyum pada Langit tatkala dia sampai di bangku sebelah Langit. "Boleh aku duduk di sini?" katanya.

"Bukannya Bu Nikma tadi sudah menyuruhnya untuk duduk di sebelahku, ya? Lantas kenapa dia kembali bertanya padaku?" batin Langit.

Langit menghela napas kemudian mengangguk. Senyum di wajah Jingga semakin lebar, dia bergegas duduk di kursi sebelah Langit.

"Namaku Jinggani Trindia. Nama kamu siapa?" tanyanya sembari mengulurkan tangannya.

Apa Langit harus menjabat tangannya?

Ragu-ragu Langit membalas uluran tangan Jingga. Ini pertama kalinya bagi Langit memegang tangan seorang perempuan selain adiknya, Bundanya, dan guru-guru. "Langit," jawab Langit.

"Cuman langit?" tanya Jingga.

"Langitdya Pratama."

"Oke, Langit kamu teman pertamaku di sini."

Teman?

°°°

Guru Sosiologi sudah keluar dari kelas. Semua murid di kelas menghela napas lega. Waktu yang ditunggu-tunggu mereka sudah datang, jam istirahat. Sebagian anak kelas sudah keluar dari kelas, dan sebagian lagi kini mengerubungi meja Langit.

Langit dan Jingganya (Selesai) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang