Part 1: Dia

180 23 9
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

Tahu tidak, bagian yang paling menyebalkan dalam hidup itu apa? Bagiku jawabannya adalah pilihan. Apalagi sebuah pilihan yang sebenarnya tidak bisa dipilih, dua faktor yang diadakan untuk saling pelengkap.

Menyebalkan, bukan? Tentu saja.

Ah, sudahlah. Aku hanya dibingungkan dengan pilihan yang ada di otakku saja. Padahal, untuk saat ini tidak ada yang harus dipilih.

Aku menatap dua pesan bergandengan muncul di layar ponsel, dan lagi. Otakku meminta untuk memilihnya. Terjebak dengan dua laki-laki yang sama memberikan kenyamanan ternyata tidak menyenangkan.

Bukan sosok sahabat yang terikat cinta segitiga. Mereka hanya pria yang kutemukan di tempat yang berbeda.

Satu emotikon senyum dan dua kata menyuruh makan, dan satu lagi hanya ketikan ‘wkwk iya’ yang berhasil membuatku tersenyum seperti orang gila.

“Mulai dah, tu.”

Ayu muncul dari balik pintu dengan tumpukan buku di tangannya, ia melempar asal buku itu di lantai dan membaringkan tubuhnya bersama buku-bukunya. Beberapa detik kemudian, muncul manusia tiang dari tempat Ayu masuk tadi—Sherina.

Dengan decakan kesal ia menendang ujung kaki Ayu karena menghalangi jalannya masuk. Erin melempar permen tangkai ke arahku dan Ayu. Mereka berdua teman sekamarku di kos-an kecil ini. Tidak terlalu buruk, lah. Lumayan untuk saku para pekerja baru seperti kami.

Ayu, seorang honorer disalah satu sekolah dasar negeri yang berada tak jauh dari tempat ini. Tapi, karena pandemi pekerjaannya lebih ringan, dan akan sibuk di akhir pekan karena semua tugas muridnya dikumpulkan.

Erin, dia seorang pengacara—pengangguran banyak acara maksudnya. Pekerjaannya hanya pergi ke sana kemari, tapi tidak mencari alamat. Dengan alasan ingin mencari pekerjaan, ia lebih memilih untuk tinggal di kos-an kecil daripada di rumahnya sendiri. Tapi, lebih tepatnya dia adalah korban broken home.

Sedangkan aku? Hanya seseorang yang matanya tidak lepas dari layar ponsel dan laptop butut kesayangan.

“Segerin mata sesekali, Ken.” Erin melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan menarik kursi duduk di sebelahku. “Pacaran di luar juga, gak di balik layar mulu,” sambungnya kesal sambil mengunyah permen yang tersisa.

“Siapa yang pacaran, sih. Gue kagak punya pacar.”  Aku menutup layar laptop yang dari tadi sudah dimatikan, dan melempar tangkai permen pada Ayu yang hampir terlelap di bawah sana.

Sontak, ia kaget dan matanya kembali terbuka karena merasakan sesuatu menyentuh pipinya.

“Ganti seragam dulu, Surti!” teriakku, untuk mengalihkan percakapan dengan Erin.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang