Prolog

361 32 5
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

“Tang, aku salah. Aku terlalu egois meminta pada Tuhan untuk menjadi milikmu. Tapi nyatanya,  Tuhan gak bisa setujuin permintaan itu, dan dia malah membawamu ke sisi-Nya.”

Tangis yang tidak bisa tertahankan lagi, bahkan ia berpacu dengan derasnya hujan. Aku, si manusia yang takut dengan hujan, tapi hari ini aku menyatu dengannya. Membiarkan mereka menghujam tubuhku sebanyak yang ia bisa.

Kata orang, menangis dalam hujan itu tidak akan terlihat, tapi aku yakin, laki-laki yang ada di balik nisan ini melihatku. Laki-laki yang sangat benci dengan tangisan. Saat ini aku hanya bisa membayangkan tatapan kemarahannya karena tangisanku.

Seharusnya aku tidak meminta sesuatu yang aneh pada Tuhan. Kata seharusnya terus terlontar dari mulut ini, dan seharusnya aku tidak akan sesakit ini. Isakan yang sulit berhenti, bahkan hidung sudah tak mampu mencium bau tanah yang bercampur dengan air.

Dari kejauhan aku melihat sosok laki-laki dengan satu payung yang melindungi kepalanya dan satu payung lagi di tangan kirinya. Tangisku terhenti saat mata kami saling menatap—hanya beberapa detik,  aku kembali mengusap nisan bertuliskan Bintang Nugraha.

Aku terlalu jahat mengabaikan seseorang yang selalu ada, tapi tak pernah aku jadikan bagian dari cerita. Tanganku terus mengusap nisan itu, membayangkan wajah laki-laki yang ada di dalamnya. Jika kamu di sini, pilihan ini tak akan pernah terjadi.

Hujan semakin bertubi-tubi menghujam bumi, tubuhku sudah tidak merasakan dinginnya lagi. Seakan hari ini hujan memelukku, tapi tidak setelah jutaan air itu berhenti menyerang tubuhku. Aku mendongakkan kepala, dan laki-laki itu sudah berada di sebelahku.

“Lanjutin aja. Gue gak bakal ganggu.”

Ia tersenyum, laki-laki itu menggunakan payung yang berbeda untuk melindungiku. Ia bukan sosok laki-laki yang berbagi satu payung dengan yang lain.

Aku membalas senyumannya, tidak peduli dengan rambut yang menempel di wajah. Beberapa saat kemudian, aku kembali beralih pada Bintang.

“Apa ini yang terbaik?” bisikku pada Bintang.

Walau tidak ada jawaban, pasti Bintang memiliki jawaban yang sama denganku.

“Manusia butuh kehangatan, tidak ada salahnya bersama dengan matahari yang pasti memberikan kebahagiaan, bukan hujan yang hanya memberikan pelukan dingin di dalam kehampaan.”



____Bumi Untuk Hujan ____

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang