Part 29: Tidak Akan Pergi

47 15 52
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

Mendengar kabar jika kedua orang tuaku pergi ke luar daerah lagi membuatku tidak ingin keluar dari kamar kecil ini. Hanya ditemani oleh Erin, karena Ayu langsung pulang saat mendengar jadwal liburnya dipercepat.

Hanya kami berdua yang ada di rumah. Buk Ara pun dijemput oleh saudaranya. Untung sudah dianggap seperti anak sendiri, jadi dia mudah saja menaruh kepercayaan itu pada kami.

Erin sibuk dengan layar lapatopnya, sudah lama ia tidak menikmati manusia tampan yang ada di balik anime itu. Sedangkan aku, yang kulakukan hanya menggulir layar ponsel, melihat postingan beberapa orang yang memamerkan pose terbaiknya dengan latar belakang tempat yang indah.

Setelah malam itu aku memutuskan mengirim pesan singkat pada Rio, namun hingga hari ini tidak ada respon darinya. Erin mengatakan jika kaki laki-laki itu juga sudah membaik, mereka bertemu disebuah kafe, dan Rio ada di sana bersama temannya.

Apa mungkin laki-laki itu tidak ingin denganku lagi, mengikhlaskan buminya bersama matahari.

"Udahlah, jantan gak dia doang."

Erin selalu mengatakan itu padaku jika pembahasanku mengarah padanya.

Sebuah nomor baru muncul di layar ponselku, akhir-akhir ini kami memang sering dihubungi oleh nomor yang tidak dikenal. Sekedar menanyakan jadwal pendaftaram siswa TK, atau bagaimana administrasi jika ingin menitipkan anak ditempatku bekerja.

"Padahal lagi libur, ya." Erin menimpali dari kasurnya saat melihatku yang menatap lama layar ponsel. "Tarik napas, buang. Pasang suaramu seramah mungkin."

Aku melirik wanita itu yang memamerkan senyumnya padaku, dan tanpa kusadari, aku mengikuti instruksinya sebelum menggeser layar ponsel, dan langsung menempelkan pada telingaku.

Tidak ada suara manusia di balik sana, hanya suara keributan yang memekakkan telinga. Bukan suara musik, dan reflek aku menjauhkan benda tipis itu saat mendengar teriakan seseorang dari sana.

Terdengar jelas suara itu menyalurkan amarahnya, entah siapa pemilik nomor ini, dan apa hubungannya denganku. Jika keadaannya ternacam, bukan aku yang harus ia hubungi.

"K-kak..."

Panggil seseorang dengan suara bergetar, dan diiringi dengan suara besi yang yang terlempar ke lantai.

"Iya, ini siapa?" tanyaku, karena setelah ia memanggilku, tidak ada sahutan lagi dari sana.

Tidak mungkin salah satu dari anggota rumah ini, karena kuyakin aku menyimpan nomor mereka satu persatu.

"Bang Rio, Kak."

Saat mendengar nama itu aku langsung terduduk.

"Rio kenap..."

Belum selesai aku menanyakan, panggilan itu terputus. Aku kembali menyambungkan panggilan itu, tapi tidak ada jawaban. Lalu berlaih pada nomor Rio, namun nomornya tidak aktif.

"Kenapa?" tanya Erin.

"Rio," jawabku panik dan kembali menelfon nomor sebelumnya.

Masih tidak ada balasan, tidak tahu apa yang harus  kulakukan, dan entah bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang.

Sebuah pesan muncul di layar bersamaan saat Erin berjalan mendekat ke arahku. Serentak kami melihat hanya alamat yang ada di dalam pesan itu.

"Kita ke sana?" tanya Erin.

Tanpa persiapan apapun, hanya tubuh yang dibalut hoodie kami pergi menuju ke alamat yang dikirimkan. Aku pun langung menghubungi Jidan, meminta ia dan teman-temannya menyusul, tidak mungkin dua wanita yang hanya membawa badan ini pergi ke sana tanpa tahu apa yang akan menyambut di sana.

Ternyata Jidan dan teman-temannya sudah menunggu di persimpangan alamat yang aku kirim padanya. Dari jauh aku melihat Rio dengan baju yang berantakan, dan kaki yang masih pincang.

Erin menambah laju kecepetan motornya ke arah mereka, dan saat kami sudah berada di sana. Darah mengalir dari kepala Rio.

"Lo pergi dulu, dia biar kamu yang alihini."

Rio menggelengkan kepalanya, sambil mengusap darah yang mengalir. Aku masih bingung, dia kenapa?

"Lo sama temen gue, ya." Rio mengambil alih motor Erin, dan menyalakan mesinnya kembali.

Aku langsung menahan tangan Rio, tidak mungkin ia akan mengendarai motor dengan keadaannya yang seperti ini.

"Lo gila, Yo!" teriakku.

"Iya, gue gila. Ini nyawa Zergan, dan sekarang gue mohon lo ikut sama gue. Sekarang gue bener butuh lo."

"T-tapi."

"Cepet, Ken."

Akhinya aku duduk di belakang Rio, memegang bajunya dengan kuat karena ia melajukan motornya dengan kencang. Jidan dan Erin mengikuti kami dari belakang, dan dua teman Rio masih berada di sana.

Rasanya aku ingin menanyakan apa yang terjadi padanya, tapi saat mendengar suara rintihannya sesekali membuatku menutup mulut kembali.

"Maaf, disaat kayak gini, gue hubungi lo," ujarnya dari depan.

"Tapi, lo gak apa-apa 'kan?"

"Selagi Zergan gak apa-apa, gue bakal baik-baik aja."

Kami kembali diam, karena sulit berkomunikasi dalam keadaan seperti ini. Motornya masuk ke dalam perumahan yang tidak asing bagiku. Karena dulu, aku sering menemani Aji ke tempat ini.

Rio menghentikan motornya di depan rumah yang berpagar tinggi.

"Lo masuk dari belakang, cuma ada satu kamar di sana. Zergan pasti masih tidur, dan gue minta tolong lo bawa dia ke lantai atas. Kuncinya ada di kantong celana yang ke gantung di balik pintu. Pas sampai di atas, lo kunci pintunya. Siapapun yang teriak minta buka, tolong jangan dibukain. Gue mohon banget."

Rio memegang kedua bahuku dengan matanya menatap lekat pada kedua mataku. Aku mengangguk paham. Rio menyerahkan kunci pintu belakang dan ia langsung melajukan motornya kembali, entah kemana dia akan pergi.

Sesuai dengan apa yang dikatakannya, Zergan masih terlelap di tempat tidurnya. Namun, pandanganku teralihkan pada beberapa macam obat yang ada di atas lemari baju yang berukuran tidak terlalu besar. Salah satunya ada obat tidur, melihat Zergan yang tertidur pulas, dan bahkan ditinggalkan sendiri di dalam rumah yang terkunci membuatku yakin jika anak itu diberi obat tidur.

Aku mengambil kunci di dalam kantong celana yang ada di balik pintu, dan langsung mengangkat Zergan dalam gendonganku. Mobil yang selalu ia pegang, terlihat rusak di lantai. Aku memungutnya dan membawanya bersamaku.

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, aku mempercepat langkah menaiki tangga, dan langsung menguncinya dari dalam.

Sekilas aku melihat keluar jendela, di bawah sana mobil yang sering digunakan oleh Rio. Namun, tidak mungkin itu dia. Selang beberapa waktu suara amukan terdengar di bawah sana. Memaki dan meneriaki nama Rio.

Tidak ada respon, ia mengetuk pintu lantai dua, membuatku terlonjak kaget, namun Zergan masih berada di alam mimpinya.

"Nak, bangun. Kita nyusul mama. Kamu gak kangen mama? Mama nungguin kita di sana."

Sekarang aku tahu maksud Rio, aku langsung mebawa Zergan ke dalam pelukanku. Anak ini tidak akan pergi menemui mamanya. Dia belum lama menginjakkan kaki di bumi ini, dan dia belum menikmatinya. Tanpa aku sadari, air mata mengalir di pipiku bersamaan dengan suara teriakan papanya dari luar sambil mengetuk pintu.


___Bumi Untuk Hujan___

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang