Part 5: Menaruh Rasa

52 16 6
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

“Gue gak tau gimana rasanya, tapi pasti sakit banget, ya?”

Aku mengangguk lemah, bersandar di antara kursi dan pintu mobil

“Mau pegang?” Rio mengulurkan tangannya, sesaat aku hanya terdiam, lalu meraih tangannya dan masuk dalam genggaman Rio.

Rio bukan Bintang yang tahu cara meredakan rasa sakit, tapi Rio tahu bagaimana caraku melupakan rasa sakitnya. Genggaman ini tidak terlepas, sesekali aku meremas tangannya karena rasa nyeri itu tiba-tiba terasa.

Dia mengajakku duduk di sisi jalan menghadap ke lapangan voli. Di sana terlihat begitu ramai.

“Tadinya kalau lo mau pergi agak siangan, mau gue ajak ketemu temen. Tapi, lain waktu aja. Cewek gue lagi gak sehat.”

Aku langsung menatapnya ‘cewek gue’ (?) apa aku tidak salah dengar?

“Kita pacaran?” pertanyaan itu terlontar  dari mulutku.

“Lah, selama ini lo gak anggap gue?” Laki-laki itu tak kalah terkejutnya dariku.

Hanya senyuman yang kuperlihatkan padanya, entahlah rasanya aku ingin meledak saat ini juga. Tidak peduli dengan sakit perutku, rasa itu hilang seketika. Bagaimana bisa aku menganggapnya sosok pacar, sedangkan dia tidak pernah mengatakan apapun kecuali gombalan yang biasa ia katakan.

Terkadang tidak semua hal dikatakan oleh mulut, ada beberapa yang harus dimengerti hanya lewat perbuatan saja.

Teriakan para penonton saling bersahutan. Percakapan kami berhenti setelah satu mangkok mie rebus diantar oleh salah satu pemilik warung.

“Kok satu? Buat gue?” Aku protes, bagaimana bisa dia hanya memesan satu saja sedangkan tidak untukku.

“Inget, Buk. Perut lo sensitif macem pantat bayi.” Dengan santainya ia menyeruput mie itu di sebelahku tanpa memperdulikan manusia yang ada di sebelah ini. Mana ada pacar yang seperti ini.

Aku heran, kenapa bisa mengenal dan menaruh rasa sayang pada laki-laki seperti dia. Saat mataku menatapnya makan, ia malah memutar kepalaku untuk menatap permainan voli yang sedang berlangsung, dan menyodorkan susu kaleng ke mulutku.

“Umumu... Minum susunya dulu, Bayi.”

Ia malah menggodaku saat aku memperlihatkan wajah kekesalan padanya. Jujur, aku tidak membencinya atau merasa kesal, tapi dengan caranya itu, aku malah semakin menyayanginya.

Sambil menyeruput minuman yang diberikan Rio, aku menatap keramaian di depan mata. Tapi, pikiran itu sama sekali tidak di sana. Pikiran ini malah berkelana memikirkan Bintang yang telah bersama langit untuk selamanya. Laki-laki yang mempunyai tempat tersendiri di dalam hati.

Aku memang telah mengikhlaskannya, tapi tidak ada alasan untuk melupakan laki-laki yang hampir setiap perjalanan hidupku bersamanya, bahkan kepergiannya pun tidak meninggalkan luka, lalu atas dasar apa aku bisa melupakannya.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang