Part 11: Dengannya?

31 12 0
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

Tidak seperti hari biasa, keadaan kantor sedikit lebih berantakan. Karena para guru harus mempersiapkan laporan bulanan. Sesekali aku membantu mereka yang benar-benar tidak bisa dengan komputer, tapi kepala yayasan meminta mereka untuk bekerja sendiri.

"Yang punya kegiatan kalian, kenapa harus mereka yang ngerjain."

Tapi, jika kepala yayasan tidak ada di ruangan, mereka akan kembali memohon padaku atau Erin. Ya, mau tidak mau, kami akhirnya menolong mereka.

"Ken, yang punya Buk Siska, lo yang bikin 'kan?"

Erin melihat satu persatu lembar kertas hasil print-annya. Mengurutkan nama-nama guru yang mengajar di tempat itu.

"Ujung-ujungnya kita juga yang ngerjain semuanya," sambungnya sambil menaruh keras itu di atas meja.

Aku hanya tersenyum dan mengangkat bahu. Mungkin, jika tidak kami bantu, jam segini mereka masih panik dan membiarkan anak muridnya berkeliaran di halaman depan.

Akhir-akhir ini aku dan Erin yang selalu mengunci pintu, dan otomatis jam kerja kami bertambah. Yang sebelumnya jam tiga kami sudah pulang, tapi sekarang harus menunggu para orang tua menjemput anaknya.

"Aduh, maaf banget, Ken. Tapi, Mama udah di kos." Erin memohon untuk pulang lebih dulu. Ia tidak bisa menunggu lebih lama karena masih ada beberapa anak yang masih tertinggal.

"Ya udah, ntar gue pulang sendiri aja."

Ruangan belakang terlihat berantakan, mainan berserakan di setiap sudut ruangan. Jika berjalan di sana tidak hati-hati, bersiaplah kaki akan menginjak mainan tajam di lantai, atau terinjak bola-bola kecil.

Dua anak tertidur di dalam ayunan dengan botol susu yang ada di mulutnya, satu sedang berada di kamar mandi untuk dibersihkan, karena sebentar lagi orang tuanya akan datang menjemput, dan dua anak lagi yang berada di ruang tengah.

Zergan sibuk dengan dunianya sendiri, dan satu wanita yang berusaha mengajaknya bermain. Sesekali ia mencoba masuk pada dunia Zergan, tapi laki-laki itu tidak mengizinkan.

Seperti yang aku tahu, jika Zergan sudah tidak memiliki mama, dan anak dari Rio. Karena masih belum ada respon dari laki-laki itu, aku mengajak main anak perempuan itu denganku. Walau sekedar minum teh besama dengan cangkir kecil miliknya.

Berada di ruangan ini membuat otot pipiku lelah, karena harus tersenyum kepada setiap anak.

Bocah perempuan yang bersamaku sudah di jemput oleh papanya yang berpakaian sedikit kumuh. Tapi, dia tidak peduli. Saat melihat kedatangan papanya, ia langsung melompat ke dalam pelukan laki-laki itu, dengan senyum lebar dari wajahnya.

"Papa tunggal lagi," bisik Buk Rina di telingaku.

Terkadang aku merasa kasihan dengan mereka. Diumur yang masih kecil  seharusnya mendapat kasih sayang dari orang tuanya, bukan dari ibu-ibu yang bahkan tidak ada hubungan dengannya. Terkadang, mereka tidak terlalu memberi kasih sayang, mereka hanya melakukan tugasnya. Memberi makan, menidurkan, dan memandikan.

Dan lagi, hanya Zergan yang tersisa, dipastikan aku akan bertemu dengan Rio. Hanya perlu menunggu laki-laki itu, aku bisa pulang dan mengistirahatkan diri. Mungkin terlihat pekerjaanku tidak banyak, tapi jujur rasa lelah itu tidak terhindarkan.

"Tinggal Zergan, dia anaknya diam aja, barangnya juga udah ibuk siapin."

Aku sudah tahu akhir kalimatnya.

"Ibuk duluan, ya?"

Tidak bisa mengelak, aku hanya menganggukkan kepala dan membiarkan wanita itu pergi. Lagi pula dia masih ada kewajiban sebagai ibu rumah tangga, sedangkan aku? Yang kulakukan sampai di rumah paling hanya tidur.

Sebuah mobil honda brio kuning masuk ke halaman depan. Sudah tahu dengan pemiliknya, Zergan berlari tanpa mempedulikanku yang dari tadi bersamanya. Tidak ada senyuman, ia berlari dengan wajah datar, hingga lupa mengenakan sepatunya.

Aku mengambil tas miliknya dan menyerahkan pada Rio.

"Udah dibilang, jangan lari." Rio mengangkat Zergan dan menggendongnya, sambil meraih tas yang kuberikan.

"Makasi, ya."

Aku hanya menganggukkan kepala, dan berbalik mengambil tas dan ponsel yang kutinggalkan di atas meja.

Kupikir dia sudah pergi, tapi saat pintu sudah pasti terkunci, dia masih berada di tempat yang sama, tapi Zergan sudah berada di dalam mobil. Sekilas dia mengusap lehernya.

"Mau pulang bareng?" tanyanya. "Sekalian, minta tolong bantu pegangin Zergan. Gue lupa bawak kursi dia."

Ha, lucu. Sebuah alasan yang tidak mungkin kuhindarkan. Statusku sebagai salah satu pegawai di tempat ini, dan masih mengenakan baju kerja, jadi anak ini masih di bawah tanggung jawabku.

Tidak ada penolakan saat Zergan kududukkan di pangkuanku.

"Gimana dia di sana?" tanya Rio tanpa melihat ke arahku.

"Siapa?" tanyaku balik.

"Zergan, lah. Ya kali gue nanya Erin."

Reflek aku tersenyum dengan mendengar jawabannya.

"Gue baru masuk juga, tapi selama gue di sana, dia cuma diem."

Rio hanya mengangguk dan kami kembali diam, tidak ada percakapan lain setelah itu. Aku pikir dia akan mengantarku pulang, tapi ternyata tidak. Mobilnya melaju ke arah rumah makan milik mamanya.

Mesin mobil sudah dimatikan, dan Zergan masih tertidur di dalam pangkuanku.

"Aduh, jadi ngerepotin." Rio memamerkan gigi putihnya. "Tapi, gue mau nyusahin lagi, sih."

Tanpa ada rasa bersalah, dia menyuruhku menggendong Zergan ke dalam rumah. Padahal tidak ada salahnya dia yang membawa Zergan.

Melihat tubuhku yang berbalut baju dinas berwarnakan coklat, mama Rio sudah tahu jika aku salah satu guru tempat Zergan dititipkan.

"Kalau gak nyusahin bukan Rio namanya."

Aku hanya tersenyum saat mamanya mengambil Zergan dariku. "Maaf, ya."

"Gak apa-apa kok, Nte."

"Jangan panggil tante, Mama aja," ucap Mama Rio.

"Sekalian simulasi," timpal Rio lalu meninggalkanku begitu saja.

Simulasi? Simulasi apanya. Maaf, seleraku bukan duda seperti dia.

Rio kembali dengan setelan yang berbeda, celana yang ia ganti dengan celana selutut dan baju kemeja hitam melekat di tubuhnya. Siapa sangka manusia itu sudah memiliki anak berumur tiga tahun.

"Yok, gue antar."

"Gak usah, biar gue pulang sendiri," jawabku sedikit basa basi.

"Kalau mau pulang sendiri, lo udah balik dari tadi," ucapnya membuatku sedikit malu, karena masih ada mamanya di sana.

"Kalian udah saling kenal? Akrab banget keliatannya," tanya mama Rio.

Rio mengangguk singkat dan menarik tanganku kembali ke dalam mobil. Ia kembali menghampiri mamanya, mengecup Zergan yang masih ada di dalam gendongan mamanya. Terlihat ada yang mereka bicarakan, lalu mamanya memukul Rio sebelum dia masuk ke dalam mobil. Masih ada tawa yang tersisa saat dia duduk di balik kemudi.

"Langsung pulang?" tanyanya, yang hanya aku balas dengan anggukan.

"Gimana kerjanya? Jualannya masih jalan?" tanyanya seakan tidak ada apa-apa di antara kami berdua. Seharusnya ada sepenggal alasan yang harus ia jelaskan kepadaku. 




__Bumi Untuk Hujan__

.
.
.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang