Part 22: Kerahasiaan

55 18 71
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

Aku tidak salah mengenalinya dari belakang, dan benar yang kulihat memang Wendy di sana. Haruskah aku menghampirinya dan menanyakan siapa? Ah, tapi aku tidak terlalu dekat. Dan Aji pun, sudah menarik tanganku untuk menyeberangi jalan berjalan di depan mobil-mobil yang masih terjebak macet.

Memilih duduk di lantai dua dan menatap beberapa mobil sudah berpindah tempat. Mataku terus melihat jalanan, menunggu Aji memesan minuman di bawah, dan aku masih menangkap sosok Wendy di sana, dan Jidan.

Aku tidak salah, laki-laki berkemeja abu-abu dengan wajah paniknya juga berada di sana. Pasti salah satu dari mereka yang menjadi korban. Mungkin itu hanya kecelekaan tunggal, karena aku hanya menemui satu mobil yang membelintang di tengah jalan.

Rio pasti ada di tempat itu, bagaimana mungkin sosok setia kawan sepertinya tidak akan ada di sana. Tapi, mataku belum menangkap laki-laki tinggi itu di bawah sana.

"Ditabrak ternyata."

Aji datang dengan segelas matcha dan susu cokelat miliknya. Aku mengalihkan tatapanku padanya.

"Kayaknya mobil itu, deh," tunjuk Aji ke arah mobil yang kulihat tadi. "Tadi, gak sengaja denger orang di bawah. Katanya dia ngeliat," sambungnya.

"Padahal nyawa itu, loh," gumamku sambil mengaduk minuman yang ada di depanku.

Mobil ambulan sepertinya sudah membawa korban itu, dan dua polisi juga sudah mengatur jalanan agar kembali normal.

Aku tidak menyadari ada getaran di dalam tasku, jika tidak karena Aji yang mengatakan aku tidak akan tahu ada panggilan masuk.

"Kebiasaan pake mode getar," ucap Aji sambil memainkan ponselnya.

Dua panggilan dari Erin dan Ayu, lalu satu nama Jidan di sana. Bukannya laki-laki itu tadi ada di jalan?

Keberadaan Jidan tidak terlihat lagi di bawah sana, perasaanku sudah mulai tidak enak, dan langsung menyambungkan panggilan pada Erin.

Aji mengalihkan pandangannya kepadaku, sudah jelas dari tatapannya menanyakan kenapa. Aku hanya menggelengkan kepala, karena belum satu pun dari mereka yang menjawab panggilanku.

"Jangan-jangan yang kecelakaan tadi temen kamu," ujar Aji.

"Mungkin aja, tadi emang ada sekilas aku liat orang yang aku kenal, tapi aku gak deket. Terus keburu kamu narik tangan aku 'kan."

Sebuah panggilan akhirnya muncul dari layar, bukan dari dua nomor yang aku telfon sebelumnya. Melainkan nama Rio yang tertera di sana. Aku menarik napas sebelum menggeser ikon hijau di layar.

"Ken..."

Terdengar suara serak dari balik ponselku, tapi bukan suara Rio, melainkan suara wanita lain. Ia memanggilkan namaku berulang kali, disertai dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.

Aku menggigiti bibir bawah sambil menunggu ojek yang baru saja ku pesan. Akan lama jika menunggu mobil Aji, dan jalanan masih belum lancar seutuhnya.

"Hati-hati, nanti aku nyusul."

**

Pemandangan yang membuatku sesak, seharusnya saat melihat Wendy aku menghampirinya. Tepat di samping pintu masuk rumah sakit, sekolompok orang berkumpul. Berselimut dengan pikiran mereka masing-masing.

Setelah menerima kembalian uang, aku berjalan gontai ke arah mereka. Wendy dan Mona saling berpelukan dan menenggelamkan kepala mereka masing-masing. Jidan duduk di salah satu kursi tunggu, dan dua temannya yang lain menyandarkan tubuh pada dinding dan sesekali mengusap wajahnya.

Keberadaanku cepat disadari, sehingga semua tatapan tertuju padaku. Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Lo yang sabar," ucap Jidan sambil menepuk bahuku.

Kenapa? Kenapa harus sabar? Rio gak meninggalkan?

Mona merenggangkan pelukannya dengan Wendy, mengusap sisa air matanya. Lalu berjalan ke arahku.

"Gue tau, sekarang bukan saatnya bahas hubungan kalian, tapi asal lo tau. Sebelum kejadian ini, dia berniat nemuin lo. Dia mau jelasin semuanya, tapi di jalan abangnya nemuin dia lebih dulu."

Aku tidak peduli apapun sekarang, laki-laki itu harus selamat lebih dulu. Kami masih berada di luar karena tidak diizinkan masuk kecuali keluargnya, dan di dalam hanya mama dan adiknya.

Tentang sosok Abian Rio Erlangga yang kuketahui, ternyata masih banyak rahasia tentangnya. Dan aku menilai dia seenaknya saja, tanpa melihat bagaimana dia, aku egois.

"Kita kaget pas tau Rio macarin lo. Dia bukan tipe yang mau asal pacaran, walau deket sama cewek lain, selama kami kenal, dia gak pernah pacaran setelah kehilangan pacarnya waktu kelas satu SMA. Emang udah lama, tapi sejak itu dia gak mau lagi."

Mona menjelaskan semua tentang Rio, semuanya. Hingga bagaimana kepribadian Rio. Dan tentang sebuah alasan dan penjelasan, dia memang tidak akan memberitahu jika tidak ada yang menanyakan.

Teman-temannya itu? Mereka sudah satu lingkungan semenjak kecil, pantas saja mereka sangat dekat.

"Hubungan kita udah gak kayak temen, ibaratnya kita udah saudara, Ken. Makanya waktu itu Rio larang lo cemburu sama gue."

Mona menatapku, ia menjelaskan dengan serius, aku yang salah di sini. Aku yang tidak terlalu mengerti bagaimana Rio. Aku tertipu dengan senyum dan tawanya, hingga aku tidak tahu ada luka di dalamnya.

Kejadian ini berhubungan dengan kematian kakak ipar Rio. Abangnya menyalahkan Rio. Dan hilangnya ia satu bulan lebih itu, ia mencoba memulihkan perasaannya sendiri, sambil mengembalikan sifat Zergan yang tiba-tiba membisu.

Zergan pulih, tapi hanya di depan laki-laki itu saja. Abangnya kembali marah saat melihat anaknya lebih dekat dengan Rio.

Usaha mamanya yang tidak terlalu banyak menghasilkan dalam sehari membuat ia harus bekerja untuk mencari biaya perawatan abangnya, yang sudah stres dan harus mendapatkan perawatan.

Kenapa? Kenapa aku tidak terlalu peduli dengan kehidupannya. Kenapa aku hanya diam dan tidak menanyakan tentangnya, dan menunggu laki-laki itu siap menceritakan padaku.

Operasi dilakukan hampir lima jam, tidak ada yang tahu bagaimana kondisinya di dalam sana. Sedangkan mamanya saat ditanya Mona, dia hanya diam. Dan Adik Rio pun meminta untuk memberikan mamanya waktu.

Kedatangan Aji beberapa waktu lalu menjadi pusat perhatian mereka, dan hanya mama Rio yang mengenalinya.

"Maaf, ya. Kami belum bisa..."

Aji langsung memegang tangan mama Rio. Aku tahu maksud mamanya.

"Gak usah dipikirin dulu, Buk. Sekarang mending fokus buat anaknya. Kedatangan saya ke sini bukan untuk meminta uang."

Teman-teman Rio pun tahu kemana arah pembicaraan mereka, dan memilih tidak mempedulikan itu.

Kami diizinkan masuk, tapi tidak secara bersamaan. Aku mempersilahkan Mona dan Wendy terlebih dahulu, lalu aku dan Jidan masuk bersamaan. Kami hanya menatap Rio yang belum sadarkan diri.

"Gak apa-apa, Ken. Anggap aja dia lagi istirahat. Selama ini, asalkan lo tau, dia jarang tidur."

Aku menatap Jidan, memintanya mengatakan apa saja yang belum aku ketahui tentangnya. Bukan untuk mempertimbangkan kembali atau tidak, aku hanya ingin tahu, tidak lebih dari itu.





__Bumi Untuk Hujan__


.
.
.
.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang