Part 24: Lelah

64 18 74
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

Mata yang saling menatap—indah.

Tatapan yang belum pernah berubah dari laki-laki itu, bahkan senyumnya melengkung pada wajah yang terlihat sangat tirus.

"Membawa berkah banget, ya."

Aku masih menatap laki-laki yang baru muncul dari balik pintu. Tangan yang terlipat ke depan dada, dan satu kaki yang tidak menapak ke lantai.

"Kenapa keluar?" tanyaku setelah mata ini puas melihatnya.

Keberadaan Mona dan Wendy belum kutemui setelah masuk ke dalam, dan sudah jelas dia yang mengatakan pada Rio jika aku berada di luar.

"Jangan salahin Mona sama Wendy, gue yang nyuruh mereka hubungi lo. Tapi, kata mereka lo udah di luar," ucapnya seakan dia baru saja membaca pikiranku. "Kenapa takut masuk? Emang gue serem, ya?" sambungnya.

Aku menggelengkan kepala dan berdiri di hadapannya, berniat membawanya kembali masuk ke dalam.

"Gue mau di luar dulu," tahannya. "Sama lo."

**

"Maaf," ucapku tanpa melihat ke arahnya.

Rio masih sibuk meluruskan kakinya, mencari posisi yang tepat agar tidak menimbulkan rasa sakit.

"Buat? Aish," tanyanya sambil menahan sakit.

Aku pun ikut meringis, seakan kakiku juga merasakannya. "Makanya ke dalam aja," tuturku padanya. "Ngeyel banget."

Hanya senyum yang ia lemparkan kepadaku, sesekali ia meringis karena gerakan yang tidak sengaja.

"Makanya, diam aja!"

Aku berdiri di hadapannya. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan tidak mungkin kakinya aku pijat.

"Mana bisa diem, hati gue dugeman aja dari tadi!" jawabnya dengan ketus.

"Lah?"

Masih seperti biasa, hanya candaan ringan yang ia lontarkan. Terkadang gombalan alay masih terdengar, dan tidak ada satu hal yang menyangkut tentang hidupnya.

"Lo tau gak? Dari gue bangun, badan gue rasanya remuk banget."

Kali ini nada suaranya tidak lagi merayuku, tatapannya lurus ke depan melihat koridor kosong, tapi sesekali masih dilewati oleh beberapa orang. Tidak tahu apa yang ada di sana, tapi mataku juga tertuju ke tempat yang sama. Kaki yang sama kuluruskan, tapi tidak dapat menyeimbangi kaki panjang Rio.

"Sakit banget, ya?" tanyaku.

Rio mengangguk tanpa menoleh sedikit pun.

"Sekarang udah lumayan reda."

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang