Part 26: Dengan Caranya Sendiri

32 14 3
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°



"Tapi, bumi gak bakal kuat nampung hujan terus menerus, bumi juga butuh matahari buat hangatin kehidupannya, Yo."

Tangan hangat yang kurasakan tadi, sekarang sudah tidak ada. Aku tidak tahu ini yang terbaik atau bukan.

"Jadi, laki-laki itu mataharinya?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya, hingga ia pergi. Aku menyusulnya dari belakang, membiarkan ia berusaha berjalan sendiri munuju kamarnya, hanya dengan satu kaki yang ditapakkan dan bantuan tongkat yang ia pegang.

Suara tangis yang kutahan, aku mengutuk diriku sendiri. Sambil menatapnya yang kesusahan, nyatanya hadirku malahan menambah beban untuknya.

Aku mengirim pesan pada Mona, memintanya menjemput Rio. Aku tidak tahan melihat Rio seperti itu, tapi aku tidak terlalu berani untuk berdiri di sampingnya lagi.

Mona berlari dari ujung koridor ke arah Rio, memapah Rio menuju ruangannya kembali. Sekilas Mona menatapku, aku hanya mengangguk pelan dan menyatukan kedua tangan, untuk menyampaikan permohoman maaf.

Kaki yang sulit untuk dilangkahkan lagi, lemah seketika. Duduk di depan salah satu ruangan yang tidak ku tahu tempat apa, dan aku mengeluarkan semuanya. Menangis sejadi-jadinya, memalukan? Tentu saja tidak, di rumah sakit ini bukannya orang yang menangis sepertiku ini sudah biasa.

Isakan yang sulit tertahan, hingga hidung yang tidak bisa menghirup udara lagi. Mengalihkan pada mulut, membuatku tambah terlihat menyedihkan.

Tanpa aku sadari seseorang sudah berada di sampingku. Sesaat ia hanya menatapku, mengusap punggungku, seakan mengatakan, 'tidak apa, keluarkan aja.'

Dan tangis itu semakin tak terhenti, aku benar-benar kesulitan bernapas. Hingga laki-laki itu menarikku ke dalam pelukannya, menenggelamkanku pada dada bidangnya, membiarkan baju yang ia kenakan basah dengan air mataku.

"Apapun masalahnya, percayalah. Bumi akan selalu kuat. Entah itu bersama hujan atau matahari, keduanya sama saja. Sama-sama akan menimbulkan luka. Tapi, di dalam hubungan tidak ada yang selalu bahagia, Ken. Kita harus merasakan luka itu, untuk sebuah kebahagiaan."

Sungguh, tangis yang tadinya hampir berhenti, setelah mendengar kalimat itu tepat di telingaku tangis itu kembali pecah.

**

Aku mendongakkan kepala saat sacangkir teh hangat diletakkan tepat di hadapanku, sepasang mata ini menatap ke arah baju yang dikenakan Jidan, aku hanya bisa tersenyum saat melihat sisa tangiku yang ada di bajunya.

"Maaf," ujarku tanpa melihat Jidan yang mengambil posisi di tepat di sampingku.

"Minum dulu, tenangin pikirannya."

Jidan menuangakn teh ke dalam piring kicil. "Gak bagus ditiup, nih."

Aku kembali mengangguk dan meminumnya pada sisi piring, hangat yang kurasakan saat air itu menjelajahi tenggerokan yang sudah kering ini. Ternyata, menangis itu mengeluarkan tenaga yang sangat banyak juga.

"Maaf, ya. Tadi, gue denger banyak yang kalian omongin."

Hanya anggukan yang aku berikan, fokusku sekarang hanya pada teh yang ada di depanku.

"Bukan maksud belain Rio. Posisi lo di sini, juga temen gue, dan gue juga paham gimana lo bisa lepasin bayang-bayang Bintang yang ngeduluin kita semua."

Aku kembali mengangguk.

"Gue gak tau gimana perasaan laki-laki itu ke lo, tapi gue tau gimana perasaan Rio. Asalkan lo tau, nih. Setiap kita ngumpul, pasti ada nama lo yang dia sebut, dan kata dia yang lo sebagai penyemangatnya, itu juga gak bohong. Alasaan lo yang gak pernah tau apapun, karena menurut dia, nanti semangat yang datang dari lo gak natural lagi."

Tatapanku masih pada piring berisikan air teh yang sudah mulai dingin, tenggorokanku tidak membutuhkannya lagi, aku hanya ingin si telinga fokus dengan suara yang ada di samping.

"Dia gak peduli kalau kami bilangin bucin, alay, atau apalah. Hidup-hidup gue, yang jalanin gue, kalian mau apa? Dia bilang gitu."

Sebuah ketidak mungkinan yang aku dengar, tapi lebih tidak mungkin jika Jidan yang berbohong padaku. Jidan menarik piring yang masih berisikan air, dan kembali memasukkan ke dalam gelas.

"Airnya udah dingin, dicampur lagi, ya. Minumnya di gelas aja."

Aku meliriknya, sejak kapan Jidan bisa berlaku seperti ini.

"Gue emang kayak gini, lo aja yang gak terlalu deket sama gue."

Kali ini aku menyipitkan mata, bukannya dia yang selalu jaga jarak denganku.

"Karena lo pacar temen gue, makanya gue jaga jarak."

Kali ini aku tidak percaya dengannya, ia bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan, sama halnya dengan Rio.

"Kalian kok bisa tau apa yang ada di pikiran gue? Rio, elo, sama aja."

Jidan malah tertawa dan menempelkan gelas pada bibirku, "abisin, nanti kita balik ke dalam."

Mataku langsung terbelalak sambil menggelengkan kepala. Aku tidak bisa kembali.

"Jadi, hati lo masih ragu sama Rio?"

Kali ini aku terdiam, Jidan benar. Aku ragu dengan laki-laki itu.

**

"Masih belum ada kabar? Atau lo yang ngehindar?"

"Dua-duanya," jawabku sambil menempelkan pipi pada meja.

Satu minggu lebih semenjak kejadian itu, aku memutuskan kembali dengan aktifitasku lagi. Malah menyibukkan diri dengan anak-anak di ruangan sebelah. Beberapa hari yang lalu, Mona mengabariku jika Rio sudah diperbolehkan pulang, dan semenjak hari itu Zergan tidak lagi dititipkan.

Salah satu pengasuh yang kebetulan tetangga Rio mengatakan jika anak itu selalu menempel dengan Rio. Ya, aku tahu itu. Zergan yang lebih memilih bersama Rio dari pada dengan yang lain.

Setiap pulang, jika tidak ada Erin aku akan dijemput oleh Aji, menikmati waktu sore walau hanya sebatas obrolan singkat sepanjang jalan pulang. Hubunganku dengannya baik-baik saja, tapi jujur saja, aku masih memikirkan Rio.

Wanita macam apa aku ini, bersama laki-laki lain, tapi masih ada nama Rio di dalam pikiran, seharusnya aku bisa memilih. Seperti saat aku menyuruh Aji tetap dengan pacarnya, atau memilih dekat denganku. Pantas saja Aji lama mempertimbangkan, ternyata melakukan pilihan itu sulit.

Aji salah, seharusnya ia mempertahankan pacarnya itu, daripada bersamaku. Tidak ada kepastian, namun tidak tahu akan berakhir luka atau bahagia. Maafkan aku.

"Aji itu, orangnya kayak gimana?"

"Baik, dewasa, perhatian, defenisi laki-laki idaman," jawabku atas pertanyaan yang dilontarkan Erin, dengan posisi membelakanginya.

"Nyaman gak? Nyamanan mana, sama Rio atau Aji?"

Jangan berikan aku pertanyaan itu, karena hatiku tidak akan pernah berbohong. Aku lebih nyaman dengan Rio. Rasa hangat selalu disalurkan oleh laki-laki itu padaku.

Tidak ada jawaban yang kuberikan pada Erin, dia pasti sudah tahu apa yang ada di dalam hatiku, aku yakin itu.

"Sikap seseorang yang gak pernah kita tau, sebenarnya lebih menantang dan lebih ngasih kita kejutan. Bener 'kan gue? Tapi, balik lagi. Dua laki-laki yang ada di deket lo, sama baiknya. Entah Aji atau Rio, mereka memiliki kebaikan dengan cara mereka sendiri."





__Bumi Untuk Hujan__

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang