Part 6: Teman

51 19 41
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°


"Lo emang udah kenal lama?"

"Jangan terlalu menaruh rasa, karena seseorang yang lo sayang mati-matian, bisa pergi begitu saja, Bintang contohnya."

Langit kelam menemani malam yang mulai sunyi, malam ini beberapa bintang tidak terlihat. Tidak seramai malam sebelumnya. Dan kuharap, bintangku di sana baik-baik saja.

Perkataan Jidan sore tadi berhasil mengacaukan pikiranku. Aku tahu, ia tidak bermaksud menimbulkan luka lama. Karena Jidan orang yang kukenal sangat baik, ia akan berbicara sesuai sudut pandang dan pengalaman yang pernah ada.

Tentang aku yang kehilangan Bintang, dia mengetahuinya. Karena laki-laki itu juga mengenal sosok Bintang. Siapa coba yang tidak mengenalinya, sepanjang hidup Bintang, dia adalah laki-laki baik yang dikenal banyak orang. Beruntung, aku pernah memilikinya, dan sudah pasti kepergiannya, aku yang paling kehilangan.

Kata Jidan aku terlalu cepat menaruh rasa, sebenarnya tidak. Butuh waktu lama aku kembali berani dengan sebuah perasaan. Aku takut kehilangan kembali karena kata-kata yang terlontar dari mulutku.

"Ya Allah, jika dia tidak ditakdirkan di sisiku, maka takdirkan dia di sisiMu, Allah."

Saat itu hanya tawa yang kuperlihatkan pada laki-laki yang memiliki senyum manis itu. Tapi, siapa sangka, aku wanita yang memiliki banyak dosa, hari itu doanya dikabulkan oleh Tuhan. Memang benar, Dia Maha Mendengar.

Seharusnya saat hujan, aku tidak mengucapkan kata yang akan dikabulkan dengan cepat. Bintang tidak bisa berada di sisiku, dan Tuhan membawanya ke sisi-Nya.

Tidak kusangka air mata mengalir begitu saja, seiring dengan hujan yang tiba-tiba membasahi bumi. Padahal tidak ada tanda sebelumnya. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan berbaring di tempat tidur.

Hujan semakin deras, seakan jatuh itu adalah hal yang menyenangkan bagi mereka. Tapi tidak denganku. Disaat hujan datang dan diwaktu malam, itu adalah hal yang menyiksaku. Aneh, ya? Memang. Padahal manusia lain, dikala hujan datang, tidur mereka akan semakin lelap. Ditambah dengan selimut tebal, tapi tidak denganku.

Tidak ada trauma, hanya saja rasa takut itu datang dengan tiba-tiba. Berkali-kali aku menghela napas, memutar tubuh ke kanan dan ke kiri, dan terkadang menatap wajah Erin yang tertidur pulas di seberang sana, sesekali ia tersenyum. Sepertinya ia sedang bermimpi indah.

Setelah aku mengenal Rio, ketakutan pada hujan mulai berkurang. Bagaimana tidak, aku akan berusaha tetap kuat saat bersamanya, karena dia laki-laki pecinta hujan. Entahlah, bukan memaksakan. Aku seakan tergerak untuk menemaninya bahagia bersama hujan.

"Gue suka hujan."

"Gue pikir, lo suka gue."

"Gue lebih dulu jatuh cinta sama hujan, jadi orang kedua harus bersabar, ya. Hujan sama lo itu punya tempat masing-masing. Jadi jangan pernah cemburu."

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang