Part 15: Zombieing

60 15 63
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


°×°

"Gimana, Ken? Lo mau?"

Aku menatap balik bola matanya yang hitam, sedikit mendongak karena tubuhnya yang jauh lebih tinggi dariku. Walau pencahayaan tidak terlalu terang, tapi aku melihat wajahnya  dengan jelas, namun keseriusan? Entahlah.

Rio mundur dua langkah, keluar dari payung yang menutupi kami berdua, membiarkan tubuhnya basah terkena hujan, dan dia tesenyum.

"Gue emang salah, pergi begitu aja tanpa ngasih kabar sama lo. Itu semua bukan pilihan, gue emang mikirin lo, tapi ada hal lain yang mendominasi pikiran gue," ujarnya.

Aku mengerutkan keningku, apakah dia memiliki masa lalu sepertiku dengan Bintang?

"Dan itu bukan cewek, Ken. Bukan cewek lain yang dominasi."

Aku menundukkan kepala, memainkan air jatuh dari sisi payung yang melindungiku. Aku memilihnya, entah apa yang salah dengan hatiku. Tanpa harus ia mencari tempat, aku sudah memberikannya tempat, tepat di sisi Bintang.

Gak apa-apa 'kan Ntang?

Tapi aku bingung, bagaimana cara menanggapinya.

"Ya udah kalau gak mau, lo pasti kecewa sama gue. Gue yang gak tau gimana cara jelasinnya ke lo. Pikiran gue bercabang, dan gue gak tau mau ngomong yang mana."

Rio meraih tanganku dan menaruh pada gagang payung yang ia pegang.

"Katanya mau nyari tempat," jawabku sambil tersenyum.

"Ada satu toko yang kosong. Dulu bersih banget tempatnya, tapi sekarang berdebu. Soalnya ditinggal sama yang nyewa, nggak bertanggung jawab emang, padahal belum bayar." Aku meliriknya dengan pipi yang sedikit kugembungkan.

Kenapa jadi sok imut gini, sih, Ken.

"Makasi, ya."

Mataku masih menatapnya dan mengarahkan tangkai payung itu lagi ketangannya. "Besok tokonya udah dihunyi lagi 'kan?" tanyaku.

"Maunya langsung malam ini, bayarnya nyicil, oke?"

Aku bertanya, kenapa harus nyicil. Laki-laki itu menjawab, soalnya mencintai itu harus sedikit demi sedikit, biar lama-lama menjadi bukit.

Sebenarnya, dari awal aku mengenal Rio. Dia sudah mengambil posisi tidak jauh dengan Bintang, aku tidak tahu apa yang sudah dia berikan padaku sehingga mudah saja membari tempat padanya.

"Mungkin karena kita makan nasi dia gak, sih? Dia melet kita." Ayu menutup mulutnya tidak percaya.

Aku pikir, mereka sudah berkelana di alam mimpi masing-masing. Tapi, satu rumah yang berisikan 10 orang itu sedang menungguku di teras depan, dan Buk Ara yang duduk di kursi kesayangannya. Dari ujung jalan, mereka menatapku tajam.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang