Part 7: Berlebihan?

34 19 35
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°


Bagian yang menyedihkan adalah ketika kamu menaruh harapan, tapi dipatahkan oleh seseorang. Lucu bukan? Jelas tidak.

Malam itu aku pulang, dan bukan dengan Rio, tapi dengan Jidan lagi. Seperti yang terakhir kali, aku dengannya tidak banyak bicara, hanya suara motor dan mobil yang terdengar.

Saat berada di depan rumah, Jidan mengusap kepalaku. "Itu pilihan lo, keputusan buat bertahan atau ngelepas, semuanya ada di tangan lo."

Jujur saja, cukup lama aku berkenalan dengan Rio, aku belum tahu banyak tentang dirinya. Yang kutahu, dia adalah anak dari pemilik rumah makan, memiliki seorang adik dan abang. Tidak lebih dari itu. Apa pekerjaan tetapnya, atau hal lain tentang kehidupannya aku tidak tahu.

Hari ini aku tidak memiliki semangat untuk melakukan apapun, yang kulakukan hanya keluar masuk kamar, dan ikut menonton serial bollywood dengan Buk Ara. Tapi, membosankan.

"Ken!" teriak Buk Ara dari ruang tengah. "Hpmu bunyi, Nak!"

Walau umurnya sudah tua, tapi untuk berteriak suaranya masih lantang. Aku kembali dan duduk di sebelahnya. Wangi minyak kemiri melekat di tubuhnya hingga tercium ke seluruh ruangan.

"Ibuk make minyak sebotol lagi?"

"Terserah Ibuk, mau sebotol atau gak." Ia melirikku dan mengerucutkan bibirnya.

"Lah, kok ngamuk."

Ponselku kembali berdering, melihat nama yang tertera, aku lebih tertarik menggoda Buk Ara daripada mengangkat panggilan darinya.

"Kamu gak kerja? Ngeladenin Ibuk gak bakal dapetin duit." Matanya tidak beralih dari layar kaca yang memperlihat artis tampan pada masanya.

"Kalau cabutin ubannya, dapet gaji gak?"

Bantal yang ada di tangannya mendarat bebas ke kepalaku, tubuh yang ringan ini dengan mudah tersandar pada sofa hanya karena bantal.

"Sama aja kamu ngatain Ibuk tua."

"Lah, ibuk 'kan udah tua."

Kali ini bukan bantal, kaki yang tadinya menyentuh lantai dalam hitungan detik menempel di bokongku.

"Ibuk!" teriakku kesal, tapi ia malah membesarkan bola matanya kepadaku.

"Angkat tuh!" Ia kembali menunjuk ponselku.

Aku mengangkat ponsel setinggi kepala, "nih, Ken angkat."

Sebelum remot tv itu melayang kepadaku, lebih baik aku pergi meninggalkannya. Empat panggilan tidak terjawab, dan masih dengan nama yang sama.

Aku duduk di bingkai jendela kamar, memandang jemuran kain yang tertiup oleh angin di luar sana. Telefon itu masih berdering dan masih memperlihatkan namanya.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang