Part 13: Tanpa Hubungan

53 16 60
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


°×°

"Gak kerja?" tanyaku pada laki-laki yang menawari sate.

"Ya elah. Kerja mulu, cuma dunia itu, mah." Rio mengangkat alisnya beberapa kali ke arahku.

Padahal, beberapa waktu yang lalu dia mengatakan jika belakangan ini dia sibuk dengan pekerjaannya.

Akhirnya, malam ini aku tidak jadi menghabiskan waktu sendiri. Dunia yang sempit menurutku, dimana pun aku berada, pasti menemukan laki-laki ini. Lihatlah sekarang, ia dengan lahapnya memakan beberapa tusuk sate.

"Enak, coba aja."

Melihatnya makan, membuat selera makanku terpancing.

Entah kapan terakhir kami berdua seperti ini, menghabiskan waktu hanya dengan menertawakan hal lucu yang ada di jalanan.

"Besok udah balik, ya?" tanyanya tanpa melihat ke arahku.

"Eum, iya," gumamku.

"Jagain Zergan, ya." Kali ini Rio menatapku, ada tatapan memohon di balik bola mata hitamnya.

"Kayak Malika?"

"Anak gue ganteng, ya. Jangan samain ama Malika lah, Neng." Rio menyenggol bahuku dengan bahunya. "Seharusnya tadi bukan jawab gitu," sambungnya.

"Terus jawab gimana?"

"Iya, akan saya rawat dan besarkan seperti anak sendiri."

Aku langsung meliriknya dengan satu tusukan sate yang ada di tangan kananku.

"Heh, jangan gitu, horor," ujarnya dan mengambil sate milikku. "Ntar kita bikin aja, biar beneran dirawat seperti anak sendiri," sambungnya dengan santai.

Reflek, aku memukul lengannya dan menjatuhkan sate yang direbutnya tadi.

"Yah, gak jodoh." Rio menatap satu tusukan yang ada di lantai. "Lo, sih," gerutunya.

"Bikin anak aja emang gampang, tapi harus mikir ke depannya."

Kudapati Rio tertawa sambil meneguk airnya, jika dia tidak bisa menahannya sedikit, mungkin air yang ada di mulutnya berhamburan keluar, tapi air itu sepertinya sudah ditakdirkan tidak masuk ke dalam tubuh Rio, karena dia tersedak saat menelannya, bukannya tertelan, tapi air itu malah naik ke saluran di hidungnya.

Tempat yang hanya berisikan beberapa meja membuat tingkah laki-laki ini menjadi pusat perhatian. Bukan dia, lebih tepatnya kami, seakan yang punya adalah bapak kami sendiri.

Sesekali mereka melihat, dan tertawa. Jujur, aku malu. Tapi, Rio hanya memasang wajah tembok, tidak peduli dengan mereka.

"Makasi, Bang." Rio meraih kembalian uangnya dan kami jalan keluar bersamaan.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang