Part 18: Apa Lagi

29 12 4
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

°×°


Sudah saatnya keluar dari suatu yang akan menimbulkan luka, ini hanya perkara hati dari seorang wanita bodoh sepertiku.

Aku menceritakan semuanya pada Aji, tentang kedekatanku dengan Rio, dan bagaimana hubunganku dengannya. Aji mendengarkanku dengan baik, saat itu dia malah ingin menyusul Rio, tapi aku larang dan membiarkan saja. Aku akan melepaskan laki-laki itu.

Melihat kondisi mataku yang sembab, satu rumah menatap Aji dengan tatapan tajam. Laki-laki itu diintograsi secara terang-terangan di depan pintu.

"Ini masalah Rio, bukan dia." Aku meninggalkan mereka, dan masuk ke dalam kamar.

Tidak ada yang berani berbicara denganku malam itu. Ayu dan Erin pun memilih diam, dan tidur di ruang tengah.

Kebetulan, pagi itu hanya beberapa orang yang tinggal di rumah. Buk Ara memanggilku. Ada Erin dan Ayu tentunya, mereka masih dengan gulungan selimut tipis masing-masing. Jam segini, kenapa belum berangkat kerja. Sedangkan aku, sudah rapi dengan setelan baju dinas.

"Itu wajar kok. Gak semua orang  berhasil dengan kisah cintanya. Ibuk contohnya. Kalian lihat 'kan sekarang. Ibuk gak ada pasangan, dikecewakan berkali-kali dan terakhir ditinggal mati."

Buk Ara menatap kami satu persatu, "ini gak buat Niken aja, tapi kalian semua. Kalian udah ditahap dewasa. Milih pasangan bukan buat main-main lagi."

"Tapi, Ken gak main-main sama dia," selaku.

"Tapi, dia 'kan yang mainin kamu?" tanya Buk Ara.

Buk Ara mengusap punggungku, seperti mama yang mencoba menenangiku.

"Iya, dia yang main-main, ibuk tau. Tugas kamu milah mana yang bagus, gak langsung, eh dia nyaman terus kita naruh sayang. Di sana kesalahan cewek. Seharusnya, cewek lebih banyak belajar dengan sosok cowok."

"Sekarang, kamu belajar dari kesalahan, dan belajar buat dewasa. Kalau sakit, akhiri. Tapi, kalau alasan dia nanti meyakinkan, mungkin bisa dipertahankan," sambungnya.

"Tapi, Ken gak ada niatan buat nemuin dia lagi, Buk." Aku menunduk, menatap lantai yang beralas keramik putih.

"Kamu harus dewasa, Nak. Kamu harus tau alasan dia lakuin itu semua ke kamu."

Wanita itu menepuk pundakku dua kali sebelum dia berdiri.

"Rio gak bakal kasih tau alasan kalau Ken gak nanya ke dia!" teriakku sambil menutup wajah menahan tangis.

Aku merasakan sebuah pelukan hangat. "Untuk terakhir kalinya, gak apa-apa kamu nanya alasan itu. Dan mulai fokus dengan tujuan masa depanmu," bisiknya di telingaku.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang