°×°
Tawa yang seharusnya ada, digantikan dengan tangis yang tak kunjung reda. Harapan tentang kisah cinta yang sempurna ternyata semuanya sirna. Jika masih berada di dunia yang fana, jangan pernah berharap pada cinta yang luar biasa.
Akhirnya hal yang ditakuti selama ini terjadi. Sebuah kehilangan untuk kedua kalinya. Hubungan yang terlihat baik-baik saja, dengan mudahnya dilepas seenaknya. Manusia yang kupikir memiliki rasa yang sama, nyatanya jauh berbeda.
Tidak pertengkaran, terakhir masih ada tawa bersamanya dan dengan tiba-tiba dia menghilang dari hadapan. Tidak ada panggilan masuk, atau suara pintu yang diketuk.
Apa salahku?
Tidak apa balasan dari pesan yang kukirim, apa aku melakukan kesalahan? Aku pikir tidak ada. Tapi kenapa? Apa yang terjadi dengannya?
"Masih belum ada?" Ayu melirikku sambil merapikan buku-buku milik siswanya.
Aku menggelengkan kepala, sudah satu minggu lebih tidak ada kabar darinya.
"Ntar kita iseng beli makanan di tempat mamanya gimana? Mana tau dia di sana."
Aku hanya menganggukkan kepala dan keluar dari kamar. Sampai kapan aku harus terlarut dengannya. Belakangan ini tidak ada pesanan, aku harus mencari kesibukan lain agar otak ini tidak selalu memikirkan tentangnya.
Duduk di halaman belakang, melihat Buk Ara yang sibuk membersihkan ladang kecilnya. Bisa dilihat, kebutuhan dapur lengkap di sana.
Sesekali aku memikirkan kemana Rio, tapi ada yang lain yang harus kupikirkan, yaitu bagaimana cara mendapatkan pekerjaan dengan cepat. Tabunganku pun sudah mulai menipis.
"Buk, kalau jadi pembantu Ibuk, Ken digaji berapa?" tanyaku sambil mencabut satu rumput yang terlupa di dekat pohon cabe.
"Digaji sesuai UMR, tapi Ibuk gak cari pembantu."
Buk Ara meluruskan punggungnya dan membersihkan tangannya yang tebal karena tanah yang melekat. Menatapku dari ujung kaki hingga kepala, lalu berdecak kesal.
"Keluar, cari kerjaan."
"Susah, Buk. Apalagi pandemi gini."
Tidak ada percakapan setelah itu kecuali keluhan Buk Ara masalah pinggangnya. Aku hanya diam, karena wanita itu sedikit batu, padahal ada bangku kecil di sana. Memang orang tua lebih keras dari anak kecil berumur tiga atau empat tahun.
"Buk, Ayu berangkat!" teriak Ayu lengkap dengan baju dinas coklatnya.
Sudah menjadi kebiasaan, Buk Ara sudah kami anggap Ibu sendiri. Dia tidak cerewet seperti Ibu kos lainnya, dan dia mendidik kami seperti anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Untuk Hujan ✔️
RomancePeringkat 1 🥇 dalam Event Writing Marathon 30Day's With Karoden Jateng (Tamat) Bumi memang tempat hujan berpulang Tapi, tidak selamanya bumi bertahan dengan hujaman yang datang. _____________________________________ "Ini hanya perihal Hujan atau...