°×°
"Ini, Yah. Sam..."
Aku terdiam melihat siapa yang ada di hadapanku sekarang, begitu pun dengan dirinya. Jika bukan karena suara Erin, mungkin kami akan tetap diam dan saling menatap seperti ini.
"Udah sem..."
Erin berdiri di belakangku, ekspresi yang sama. Tatapan mata Erin berubah, tanpa menyapa ia pergi begitu saja dengan sekantong sampah yang ada di tangannya.
"Lo kerja di sini?"
Aku membalas dengan gumaman kecil dan anggukan singkat. Seakan tidak terjadi apa-apa, ia tersenyum lalu pergi setelah mengucapkan kata terima kasih, dan mengambil tas yang ada di tanganku.
"Wah, gak ada perasaan, asli." Erin melempar tutup pena ke arah mobil yang melaju meninggalkan kami.
"Apa karena gue gak nanya, ya?"
Hanya karena pertanyaan singkat itu, telinga ini harus menerima untaian kata yang dirangkai indah oleh Erin, dilengkapi dengan sedikt racikan umpatan di dalamnya. Setidaknya ada penjelasan sedikit yang diberikan oleh laki-laki itu. Begitulah inti dari ceramah panjang Erin.
"Udahlah, Rin. Jangan dibahas lagi."
Setidaknya kalimat itu dapat menghentikan Erin dengan kemarahannya. Karena memang aku tidak lagi memikirkan tentang Rio. Dari caranya meninggalkanku, itu sudah membuatku muak.
Kejadian di tempat kerjaku hanya sebuah keterkejutan karena dia yang tiba-tiba hadir kembali di hadapanku. Kenangan singkat bersamanya, tidak mudah datang kembali dalam ingatan. Disatu sisi aku bangga dengan diriku sendiri. Melupakan orang yang tak pantas itu sangatlah mudah.
**
Pertanyaan tentang Rio, sudah tidak lagi aku dengar dari semua makhluk yang ada di rumah ini. Bahkan aku pikir Buk Ara yang akan banyak tanya, tapi dugaanku salah. Hanya sekali saja dia bertanya, dan tidak ada lagi setelah itu.
"Buk, Ken keluar, ya."
"Keluar terus, Kak. Dapet cem-ceman baru, ya?" tanya Dila, si penghuni kamar sebelah.
"Soujon mulu, lo."
Dila tertawa dan menatapku dengan tatapan curiga. Semenjak Aji kembali, aku sering keluar hanya untuk menemaninya memantau beberapa toko yang dikelola papanya.
Dan seperti biasa, aku hanya menunggu di luar, karena terkahir kali menemaninya ke dalam, aku malah dikira pacar Aji. Walau laki-laki itu tidak mengelak sedikit pun, tapi aku merasa sedikit tidak nyaman.
Ah, aku lupa mengisi daya ponselku, dan nyawanya sudah berakhir sebelum Aji kembali. Sebelum gabut menghampiriku, mataku tidak sengaja melihat ke arah anak laki-laki yang hanya berdiri di depan parkiran, dia sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Untuk Hujan ✔️
RomancePeringkat 1 🥇 dalam Event Writing Marathon 30Day's With Karoden Jateng (Tamat) Bumi memang tempat hujan berpulang Tapi, tidak selamanya bumi bertahan dengan hujaman yang datang. _____________________________________ "Ini hanya perihal Hujan atau...