Part 20: Harus Apa?

65 18 81
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

Jalanan yang masih sama, tapi tidak dengan hatiku yang terasa berbeda.

Kacau? Jelas saja, itu yang aku rasakan. Mengabaikan pegawai toko yang mengantarku tadi. Dia menyapaku, tapi aku tidak menyambut sapaannya, aku hanya berlalu di sampingnya dengan tangis yang tak kunjung berhenti.

Untuk apa aku menangis di jalanan? Toh, melepasnya adalah keputusanku. Siapa yang bisa tahan dengan sikap pasangan yang seperti itu. Aku bukan si wanita sabar yang mungkin ia harapkan.

Mobil laki-laki itu belum melewatiku, entah dia putar arah atau tetap berada di sana menungguku hilang di ujung jalan, aku tidak tahu. Aku tidak akan berbalik untuk melihatnya.

'Belum tentu jodoh.'

Kata itu terus berkeliaran di dalam kepala. Sekali lagi, dia benar.

Membiarkan sepasang kaki ini terus melangkah, mengabaikan keikutsertaan langit dalam kesedihanku. Awalnya, hanya rintik kecil pembasuh luka. Disaat tangisku semakin pecah, hujan pun datang lebih banyak membawa pasukannya untuk menutup tangisan ini.

Beberapa orang mungkin menatapku aneh, tapi tidak apa-apa karena mereka tidak mengenaliku, dan itu bukan urusan mereka. Sepatuku yang tadinya terlihat mengkilat karena disiram oleh air hujan, dan sekarang dilapisi tanah basah yang aku injak.

Minggu lalu, aku tidak menghampirinya. Karena sibuk memikirkan laki-laki yang sama sekali tidak memasukkanku dalam hidupnya. Hingga aku melupakan sosok Bintang yang sudah bahagia di sana.

"Tang, aku salah. Aku terlalu egois meminta pada Tuhan untuk menjadi milikmu. Tapi nyatanya, Tuhan gak bisa setujuin permintaan itu, dan dia malah membawamu ke sisi-Nya."

Seharusnya kamu tetap di sini, Tang. Jika pun tidak bersama, kamu pasti bisa menghilangkan tangis ini.

Tangis yang semakin menjadi-jadi, bahkan ia berpacu dengan derasnya hujan. Aku, si manusia yang takut dengan hujan, tapi hari ini aku menyatu dengannya. Membiarkan mereka menghujam tubuhku sebanyak yang ia bisa.

Kata orang, menangis dalam hujan itu tidak akan terlihat, tapi aku yakin, orang-orang yang melihatku di jalanan tadi dan laki-laki yang ada di balik nisan ini melihatku. Laki-laki yang sangat benci dengan tangisan. Saat ini aku hanya bisa membayangkan tatapan kemarahannya karena tangisanku.

"Emang nangis bakal nyelesain masalah? Gak, Ken. Gak  guna kamu nangis sampai sembab gitu matanya. Bukannya nyelesaiin masalah. Yang ada, selesai nangis kepalamu sakit, Niken."

Tatapan dinginnya masih teringat jelas di depan mataku.

Seharusnya aku tidak meminta sesuatu yang aneh pada Tuhan. Kata seharusnya terus terlontar dari mulut ini, dan seharusnya aku tidak akan sesakit ini. Isakan yang sulit berhenti, bahkan hidung sudah tak mampu mencium bau tanah yang bercampur dengan air.

Dari kejauhan aku melihat sosok laki-laki dengan satu payung yang melindungi kepalanya dan satu payung lagi di tangan kirinya. Tangisku terhenti saat mata kami saling menatap—hanya beberapa detik, aku kembali mengusap nisan bertuliskan Bintang Nugraha.

Aku terlalu jahat mengabaikan seseorang yang selalu ada, tapi tak pernah aku jadikan bagian dari cerita. Tanganku terus mengusap nisan itu, membayangkan wajah laki-laki yang selalu aku sayang. Jika, kamu di sini, pilihan ini tak akan pernah terjadi.

Hujan semakin bertubi-tubi menghujam bumi, tubuhku sudah tidak merasakan dinginnya lagi. Seakan hari ini hujan memelukku, tapi tidak setelah jutaan air itu berhenti menyerang tubuhku. Aku mendongakkan kepala, dan laki-laki itu sudah berada di sebelahku.

"Lanjutin aja. Gue gak bakal ganggu."

Ia tersenyum, laki-laki itu menggunakan payung yang berbeda untuk melindungiku. Ia bukan sosok laki-laki yang berbagi satu payung dengan yang lain.

Aku membalas senyumannya, tidak peduli dengan rambut yang menempel di wajah. Beberapa saat kemudian, aku kembali beralih pada Bintang.

"Apa ini yang terbaik?" bisikku pada Bintang.

Walau tidak ada jawaban, pasti Bintang memiliki jawaban yang sama denganku.

"Manusia butuh kehangatan, tidak ada salahnya bersama dengan matahari yang pasti memberikan kebahagiaan, bukan hujan yang hanya memberikan pelukan dingin di dalam kehampaan."

**

Melihat tubuh yang basah kuyup, Erin menatapku tidak percaya. Bukan tatapan iba, tapi ada kemarahan dari sorot matanya. Kali ini ia memaki kebodohanku dan sikap Rio padaku. Aku hanya diam saat ia menuturkan untain kata tepat di hadapanku.

"Lo bodoh apa gimana? Apa yang dia lakuin ke lo? Emang sebanding apa yang dilakukan Aji ke elo?!" bentak Erin.

Hari ini Ayu tidak di rumah, beberapa penghuni rumah ini pun sedang meringkuk di kamar mereka masing-masing, termasuk Buk Ara.

"Gue gak bisa, Rin." Aku menarik napas. "Dia udah punya pacar," ucapku pelan.

Aku menatap Erin, tangannya masih berada di pinggang. Seperti seorang kakak yang mendapati adiknya melakukan kesalahan. Tarikan napas panjang, dan dibuang kasar sambil membelakangiku.

Wanita itu sudah kehabisan kata-kata, aku tahu itu. Hampir lima menit ia membelakangiku, tidak ada lagi kata yang mungkin akan ia ucapkan, aku berdiri dan berjalan mengambil handuk. Sepertinya, aku akan melanjutkan tangisku di bawah shower, drama sekali bukan.

"Lo dulu ngelakuin kesalahan apa, sih, Ken?" tanya Erin, membuat langkahku terhenti tepat dualangkah di depannya.

"Apa yang lo lakuin dulu, sampe lo dapet dua laki-laki yang kurang ajar sekaligus!" teriaknya di depanku.

Aku pun tidak tahu, kesalahan apa yang ku lakukan dulu. Karma dari Bintang? Aku tidak melakukan kesalahan apapun dengannya. Hubungan kami hanya terhalang takdir Tuhan.

"Tapi, Aji baik," selaku pelan.

"Itu gak baik, Ken! Kalau dia baik, dia gak bakal naruh rasa ke lo tapi masih pertahanin wanita lain. Emang gak lo yang disakitin, tapi hati pacarnya? Lo bayangin posisi wanita itu, lo," tunjuk Erin.

Jangan ditanya, aku mengalaminya. Sekarang aku mengerti, ini bukan karma dari Bintang, tapi dari pacar Aji yang tidak tahu apa-apa.

Apa ini termasuk salahku? Padahal aku belum menaruh rasa pada Aji. Sebatas teman.

"Gak ada hubungan kayak lo sama Aji disebut sebatas teman," ujar Erin. "Gue biarin lo deket sama Aji, karena gue tahu hubungan lo sama Rio antara ada dan gak." Erin mengusap wajahnya.

"Kalian semua salah di sini. Lo, Rio, atau pun Aji, kalian salah. Hubungan kalian gak sehat sama sekali, toxic relation." Erin berjalan keluar, diiringi dengan suara pintu yang terhempas.

Kali ini aku yang mengusap wajah, menatap ruangan kosong berisikan tempat tidur, lemari, dan dua meja yang bergandengan. Terlihat sempit, hanya sisa sedikit ruang di tengahnya mengarah ke pintu keluar. Setelah kemarahan Erin ruangan ini terasa semakin sempit, entah karena Erin, atau karena hatiku yang berantakan.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?



__Bumi Untuk Hujan__


.
.
.
.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang