Part 12: Tempat

48 17 63
                                    

°×°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°×°

Satu gelas cappucino dan espresso menemani di tengah padatnya kota. Jika laki-laki di sebelahku tidak mengambil pesanan mamanya, mungkin aku tidak akan tejebak macet dan mungkin aku sudah berbaring di atas tempat tidur yang menjadi kesayanganku.

Beberapa kali  menarik napas, aku ingin menanyakan alasan dia mendekatiku dulu. Tapi, apa aku saja yang menganggap lebih hubungan kami? Siapa pun yang tahu bagaimana hubungannku dengannya mungkin mereka juga berpikir hubungan itu lebih dari teman.

Apa aku harus menanyakan atau tidak?

"Lagi banyak pikiran, ya?" tanyanya sambil meminum kopinya. "Atau, ada yang mau ditanyain?" tanyanya lagi, setelah kopi hitam itu meluncur di tenggorokannya.

Heh, Bambang... seharusnya lo kali yang berinisatif jelasin semuanya sama gue. Bukan nanyain ke gue, ada yang mau ditanyain?

Wah, oasu memang.

Aku berharap umpatan ini tersalurkan pada laki-laki di sebelahku ini.

Saat tidak ada tanggapan yang aku berikan, dia kembali bersuara. "Zergan itu lucu gak, sih?"

Aku hanya tersenyum tipis dan menganggukkan kepala tanpa melihat ke arahnya.

Lo juga lucu Rio..! Aku benar-benar geram dengannya.

"Dia itu heboh banget di rumah. Tapi, kata lo dia gak ngomong."

Aku membenarkan apa kata, lebih satu bulan aku bekerja di sana, aku bahkan tidak tahu dengan suaranya.

"Kenapa gak lo jagain aja di rumah?" Aku meliriknya dan kembali menatap ke depan.

"Gak semua anak yang mau di titipkan kayak gitu, Yo. Mereka memang gak ngomong ke kita orang dewasa, tapi sebenarnya dia memberontak, dan memilih untuk diam."

"Gue cowok, ya kali ngasuh anak." Rio menekan pedal gasnya pelan, jalanan di depan sudah mulai lancar.

"Lah, gak ada salahnya cowok ngasuh anak 'kan?" Aku menatap laki-laki itu tajam, dia pikir pekerjaan mengasuh anak itu hanya untuk perempuan. "Lagian itu anak lo, kenapa malas?" tanyaku sedikit kesal. Sosok bapak yang tidak bertanggung jawab.

Rio mendadak menginjak rem di tengah jalan, membuat mobil yang di belakang mengelakson beberapa kali. Rio menatapku, dan aku menatapnya balik, memangnya apa yang kukatakan salah?

Laki-laki itu menepikan mobilnya dan berhenti di sisi jalan. Ia menatapku, membuatku merasa tidak nyaman.

"Jadi, lo pikir Zergan anak gue?" tanya Rio, dengan tubuh yang sedikit ia dekatkan ke arahku.

Aku menganggukkan kepala, dengan wajah tanpa ekspresi. Alisku reflek terangkat saat melihat Rio tertawa dan mengambil minumanku dari tangan.

"Cappucino-nya enak." Rio mengembalikan gelas itu ke tanganku, dan menyandarkan tubuhnya.

Bumi Untuk Hujan ✔️  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang