31 - Dekap

2.8K 347 64
                                    

"Maksud kamu apa? Saya ngga ngerti," kata Bian yang saat ini sudah mengerutkan keningnya tanda keheranan. Ada yang salah dengan suami yang memperhatikan istrinya yang tengah sakit? Ada yang salah dengan suami yang menunggu istrinya yang tengah lemah tak berdaya ini? Ada? Bian kira tidak ada.

Nara menarik napas panjang. Nara sudah siap mencurahkan semuanya. Dia pun mendongak memberanikan diri menatap mata elang milik Bian itu. "Dari awal aku nikah sama kamu, aku udah bilang, aku paling ngga suka dibohongi. Kamu juga gitu, kan?"

Bian mengangguk.

"Tapi, kenapa kamu sendiri yang ingkari itu, Mas? Kenapa?" tangis Nara kali ini dengan histeris. Dia mengingat kejadian tiga bulan lalu saat Bian menjawab pertanyaannya bahwa wanita yang bertemu itu hanya rekan kerjanya.

"Kamu bilang wanita yang waktu itu ketemu sama kita, rekan kerjamu. Ternyata bukan!" Nara memberhentikan perkataannya. "Kalau sekiranya kamu masih belum selesai dengan masa lalumu, kenapa kamu berani melangkah untuk mencari masa depan, Mas? Kenapa?!" pekik Nara di depan Bian itu. Setiap kalimat yang dilontarkan Nara penuh dengan penekanan. Dia benar-benar meluapkan emosinya. Bian hanya diam mendengarkan Nara meluapkan semuanya.

"Kamu tahu, kemarin aku liat dengan mata kepalaku sendiri, kalau kamu pelukan sama dia, Mas," setelah kalimat itu, tangis Nara pecah lagi. Nara sudah tidak berdaya. Tanpa menyebut nama, Bian pasti paham siapa "dia" yang dimaksud istrinya itu.

"Tapi, saya ngga membalas pelukan itu, Ra," jawab Bian masih dengan santai. Ya, memang itu kenyataannya. Bian memang membiarkan Nara meluapkan semuanya terlebih dahulu.

Nara mendongakan wajahnya. Dia menatap tajam mata suaminya. "Aku ngga peduli, kamu kira hati aku biasa aja, Mas? Hati aku sakit!" Pecah sudah untuk ketiga kalinya tangis Nara. Sebenarnya sudah lelah, namun hal apa lagi yang akan membuatnya lega selain menangis?

Bian pun beranjak dari duduknya hendak memeluk Nara. Bian sudah berhasil merengkuh tubuh Nara namun dengan sekuat tenaga Nara berontak. Nara berhasil keluar dari rengkuhan Bian itu. Nara tergugu dalam tangisnya. Bahunya sudah bergetar hebat. "Aku minta kamu keluar, aku lagi pengin sendiri," ungkap Nara setelah itu.

"Ra," panggil Bian sambil berusaha untuk menggapai tangan Nara lagi, namun kali ini Nara berhasil untuk menepis.

"Keluar!" kata Nara selanjutnya dengan nada cukup tinggi. Biarlah dia dikatakan istri durhaka karena berani membentak suaminya sendiri. Tapi perasaannya benar-benar kalut. Daripada terus-menerus berhadapan dengan si pembuat luka, lebih baik tidak sama sekali, kan?

Terpaksa, Bian pun berdiri. Dia melihat Nara untuk yang terakhir kali sebelum dia memutuskan untuk berjalan meninggalkan Nara. "Saya di depan, kalau kamu butuh apa-apa, langsung telpon aja," kata Bian.

Dengan langkah berat, Bian beranjak dari duduknya. Bian melakukan ini juga demi Nara. Mungkin dia memang butuh waktu untuk sendiri. Menenangkan diri, memperbaiki mood-nya agar kembali seperti semula.

-

Mama Hanna yang tengah duduk di ruang keluarga heran melihat Bian turun dari tangga. Dia mengernyitkan keningnya.

"Kok, kamu malah keluar?" tanya Hanna. Bian pun duduk di depan Mamanya itu. Wajahnya lesu, tidak berdaya sama sekali. Baru akan menjelaskan, baru akan menceritakan, tapi sang empunya tidak mau mendengar sama sekali.

Bian menghela napas. Duduk bersandar pada sebuah kursi di depan Hanna. Tatapannya menatap foto keluarga saat dia menikah dengan Nara, kala itu.

"Nara lagi pengen sendiri katanya, Ma," tatapan Bian kosong. Sejujurnya dia juga tidak tahu harus apa. Sekarang dia sedang berada di titik bimbang paling tinggi. Akan bercerita juga salah, apalagi tidak bercerita.

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang