06.30
Bian sedang bersiap-siap di kamar untuk berangkat ke kantor. Memakai jas, menyiapkan sepatu, dan membereskan dokumen-dokumen yang akan dia gunakan meeting nanti. Nara terlihat sibuk mengganti bed cover. Seperti sengaja untuk menyibukan diri.
Bian berjalan menuju Nara yang sedang memasang sarung bantal itu. "Kamu hari ini ngga kemana-mana, kan?" Nara hanya mengangguk.
"Di rumah aja, ya. Jangan lupa nanti diminum obatnya, istirahat, kalau bisa tidur. Saya berangkat ke kantor dulu," kata Bian sambil mengecup kening Nara. "Assalamualaikum," Bian mengucap salam dan berlalu pergi.
Berbeda dengan Nara yang tubuhnya menegang seketika. Kedua kalinya Bian mencium keningnya. Yang pertama, saat akad nikah dulu. Yang kedua, baru saja. Nara tidak tahu apa maksud dari ini semua. Perlakuan Bian memang kerap kali membuatnya terbang. Segala bentuk perhatiannya membuat dia diperlakukan bagai seorang ratu.
Tapi, apa yang dilakukannya di luar? Berpelukan dengan wanita lain. Hal apa yang akan dibanggakan?
Nara lekas menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh terus menerus memikirkan hal itu. Tentang Dinda, tentang dia yang belum juga hamil, itu urusan Sang Pencipta. Akan dibawa kemana, Nara hanya mengikuti alur cerita yang sedang dia jalani nantinya.
Selesai membereskan kamar, Nara turun menuju ke lantai satu. Kaila sudah berangkat sekolah diantar oleh Ncus. Hanna memilih untuk tidak mengantar karena akan menjaga Nara.
Nara berjalan menuju taman samping rumah. Taman milik Mama mertuanya itu. Melihat tanaman yang hijau, melihat beberapa bunga warna-warni yang sudah mekar, menjadi kesenangan tersendiri bagi Nara.
Nara pun mengambil selang panjang dan memutar keran untuk menyalakan air. Air mengalir, selang dia arahkan ke pot-pot tanaman bunga yang berada di depannya. Dengan cara begini, Nara sedikit lupa tentang apa yang membuatnya tumbang kemarin. Dengan cara begini, Nara sedikit banyak untuk bersyukur karena masih diberi napas panjang hingga detik ini.
"Ra," panggil Hanna yang rupanya menyusul Nara ke taman. "Mama cari kamu, ternyata kamu di sini," kata Hanna sambil mendekat ke arah Nara.
"Iya, Ma. Aku bingung mau ngapain, jadi ke taman, deh," jawab Nara sambil masih menyiram beberapa tanaman bunga di depannya. Mulai dari pot gantung, pot kecil hingga besar, sudah Nara sirami semua.
Hanna melihat ke kanan dan kirinya, semua daun sudah basah terkena siraman air. "Udah semua?" tanya Hanna.
Nara mengangguk. "Udah kayaknya, Ma," jawab Nara sambil berjalan untuk mematikan keran air. Dia letakan kembali selang di tempat semula. Hanna yang melihat itu tersenyum. Akhirnya, senyum kecil Nara kembali.
"Duduk, yuk, di sana," ajak Hanna sambil menunjuk kursi di pinggir taman. Itu memang tempat favorit untuk bersantai. Sambil melihat air mancur kecil di kolam dekat taman kesayangan Hanna itu. Nara mengangguk. Hanna dan Nara pun berjalan beriringan.
Hanna dan Nara pun duduk bersebelahan. Seperti de javu saat pertama kali Hanna dan Nara bertemu di kantor Bian tempo hari.
"Gimana? Udah lebih enakan dari kemarin?" tanya Hanna mengawali percakapan. Niatnya memang ingin menjadi penengah antara Bian dan Nara. Terserah, jika nantinya mereka akan bagaimana. Ini usaha Hanna demi hubungan putra dan menantu kesayangannya ini.
Nara mengangguk. "Udah, Ma. Tapi masih sedikit lemes aja," jawab Nara sambil menatap Hanna.
Hanna tersenyum sambil mengusap pundak Nara. "Mama udah denger cerita dari Bian sama Mbok Nah," kata Hanna. Nara hanya tersenyum. Seperti mengerti arah pembicaraan ini akan ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...