[Dua hari kemudian]
Minggu, 20.00
Dua hari ini benar-benar membuat Bian frustasi. Nara yang bersikap dingin padanya, membuat Bian kelimpungan sendiri. Bian sudah mencoba menjelaskan semuanya, namun tetap saja, Nara tidak menggubris sama sekali.
Sikap dingin Nara di rumah ini hanya kepada Bian. Kepada Hanna, Kaila, Mbok Nah, Ncus Nina, bahkan hingga Mang Ujang pun Nara bersikap biasa saja. Bagaimana Bian tidak frustasi? Setiap kali Bian mengajaknya bicara, Bian selalu seperti sedang mengajak cerita sebuah patung hidup.
Sudah diajak makan malam bersama, diberi satu buket mawar putih—bunga favoritnya, diajak ke rumah Ayah Nugroho, hingga ke taman untuk jalan-jalan bersama Kaila pun Nara tetap saja dingin. Padahal, dengan hal-hal semacam itu Bian berharap Nara akan sedikit luluh. Ternyata sama saja. Bian menyadari, Nara bukanlah seorang anak kecil berumur lima tahun yang mudah sekali diiming-imingi sesuatu.
Hari Minggu kali ini cukup sendu. Hujan mengguyur dari pagi hingga detik ini tiada hentinya. Mungkin hujan tak kunjung usai karena rintikannya kecil. Kalau kata orang semakin gerimis hujannya akan semakin awet, mungkin memang benar adanya.
Sedari sore hingga saat ini, Nara hanya berdiam diri di kamar. Untuk beranjak saja malas. Hawa dingin membuatnya ingin tetap berada di kamar. Bahkan, jika dia tega pun akan tidur seharian. Ini berbeda, bukan lagi seorang Denara Ayudia yang tinggal di rumahnya dan bebas melakukan apapun.
Seperti kali ini, Nara sedang bersandar di kasur dan berkutat dengan laptopnya. Entah apa yang sedang dia lihat. Bian pun masuk ke dalam kamar dan mendapati Nara yang tengah tertawa sambil memandang monitor laptop.
"Udah dulu, ya. See you, huhu. Kangen banget!" suara dari seberang sana. Rupanya Nara tengah melakukan voice call dengan Anin.
"See you!" jawab Nara sambil melambaikan tangannya. Bian bersandar di sebelah Nara.
Nara masih diam, dia sadar kehadiran suaminya, namun tetap saja tidak peduli. Nara menyilang beberapa tab yang telah dia gunakan di laptop itu.
"Lain kali, kalau taruh laptop jangan di atas paha kaya gitu, ya. Ngga baik, takutnya ada radiasi," kata Bian sambil memperhatikan Nara yang masih menggulir monitor. Masih diam, benar, kan? Seperti patung hidup.
"Ra," panggil Bian.
Nara seperti baru tersadar. "Oh, kamu ngomong sama aku?" tanya Nara dengan polosnya. Tuhan, tolong, kuatkan kesabaran Bian untuk menghadapi Nara selama beberapa hari ini.
Bian hanya menghela napas walaupun sebenarnya sudah geram. "Iya. Lain kali jangan taruh laptop di atas paha. Kan, kamu bisa pakai meja kerja saya yang di sana," kata Bian sambil menunjuk meja kerja kecilnya yang berada di kamar itu.
Tatapan Nara masih fokus pada layar laptop. "Iya," jawab Nara. Hanya satu kata. Cukup.
Bian hanya menghela napasnya kasar. Terserah, dia sudah lelah hari ini menghadapi sikap Nara. Mari memulai hari esok, semoga Nara sudah lebih baik.
Bian pun mengambil ponselnya, mengecek agenda esok hari. Cukup padat di awal minggu ini. Terlebih satu minggu ke depan, akan banyak sekali proyek baru yang harus Bian selesaikan.
"Istirahat, Ra. Udah jam setengah sembilan," suruh Bian sambil meletakan ponsel di nakas sebelah kirinya. Nara masih diam tidak menggubris sama sekali. Bian benar-benar tidak tahu harus apa lagi.
Dua hari kemarin, dia sudah berusaha menjelaskan, namun nihil. Tidak ada respon yang baik dari Nara. Bian sudah mengikuti arahan Mamanya yaitu tentang bagaimana cara membuat hati wanita kembali menghangat, namun nihil juga. Bukannya bertambah baik, Nara justru semakin menjadi-jadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...