AKU langsung melirik ke kanan dan ke kiri, mencari siapa orang yang menaruh sebuah botol minuman dingin yang masih tersegel rapi.
Evan mendekati ku, dan aku rasa dialah yang membelikannya untukku. Aku mengerutkan alis bingung seraya menatap cowo dengan tinggi seratus tujuh puluh tujuh senti menter tersebut.
"Dari kamu?" tanyaku, lantas Evan mengangguk dengan cepat.
Aku berdeham sebentar, "tumben? Biasanya kamu yang titip sama aku, hehe."
Aku mengambil botol tersebut, membukanya lantas segera meminum isi tersebut dengan nikmat.
"Kita habis olahraga, aku lihat botol kamu habis. Jadi aku beliin. Tadi keliling sekolah tiga kali, pasti capek. Ditambah kamu harus dicegat guru, hahahaha," jelas Evan yang langsung aku pahami dengan mudah.
"Jadi ini dibeliin karena kamu peduli sama aku?" tanyaku memastikan, agar tidak terjadi salah paham. Sayangnya laki-laki itu mengangguk.
Aku menghela nafas. "Van, love language kamu apa?" tanyaku spontan.
Evan tampak berpikir sejenak, lantas berucap, "quality time sih, kayaknya. Kenapa?"
Aku ber-oh sebagai jawaban. "Kalau aku act of service. Dan hal kayak gini bisa bikin aku baper asal kamu mau tau." Aku menegakkan kembali kepalaku yang sedikit miring sebelumnya. "Jadi kalau kamu ga mau aku baper sama kamu, lain kali ga usah kayak gini sering-sering deh."
Evan terkekeh gemas. "Terus kenapa kalau kamu baper sama aku? Aku gapapa kok, kalau harus jadi pacar kamu, itung-itung tanggung jawab karena bikin anak orang baper," jelasnya dengan enteng. Wajahku memanas begitu saja, entah apa yang ada di pikiranku saat ini.
Aku tersenyum simpul. "Emangnya udah move on dari Gracia?"
"Kan, aku pernah bilang. Sejak kena masalah sama Kevin si manusia posesif itu, aku udah ga berani lagi."
"Ga berani 'kan, bukan berati ga ada perasaan lagi, Van," ujarku membalik pada Evan. Laki-laki itu hanya diam dengan senyuman penuh makna yang aku sendiri tidak tau apa artinya.
🕊
Aku mengaduh pada Laura saat perutku terus merasa sakit. Ini salahku, karena tadi pagi melewatkan sarapan.
Hari ini aku terbangun terlambat. Alaramku lupa kunyalakan. Sehingga aku harus melewatkan jam makan pagiku demi datang ke sekolah tepat waktu.
Aku melayangkan pandang pada sekeliling kelas, berharap akan mendapat bantuan entah dari siapa.
"Ya salah siapa teledor. Kamu mau aku mintain obat ke UKS?" tawar Laura. Aku menggeleng, pasalnya jarak kelas ke UKS lumayan panjang dan aku tidak ingin merepotkan Laura.
"Ya terus gimana? Kamu mau gini terus?" Laura dibuat kesal olehku yang selalu menolak saran darinya.
"Gapapa, bentar lagi sembuh kok," ujarku dengan mudah, walau sebenarnya aku pun tidak tau kapan sakit ini akan berhenti.
"Sakit kayak gitu ga bisa berhenti kalau belum makan, La. Ini makan," ujar seseorang. Itu bukan Laura, melainkan Evan.
Aku mengangkat kepalaku secara spontan karena terkejut. Mataku sedikit mendelik saat mendapati Evan datang dengan onigiri di tangannya yang hendak dia berikan padaku.
"Buat aku?" tanyaku memastikan.
"Kalau bukan buat kamu, buat siapa lagi coba? Masa aku yang makan?" tanya Laura kesal.
Aku mengambil onigiri tersebut, lantas berucap terima kasih pada Evan.
Laki-laki itu langsung kembali pada posisi duduknya di ujung kelas. Sedangkan Laura kembali pada posisi semula agar lebih nyaman menyalin catatanku di atas meja.
Aku tersenyum salah tingkah menatap onigiri pemberian Evan. "Sweet banget, gimana ga baper sih? Dasar!" monologku sepelan mungkin.
🕊
Aku menatap jalanan luar rumah lewat jendela kamarku yang terletak di lantai dua. Pandanganku tidak fokus. Sebenarnya aku juga tidak tau apa yang harus aku lakukan lagi sekarang.
Lamunanku buyar saat sebuah telefon masuk. Aku bergegas melihat namanya sejenak sebelum mengangkat telefon tersebut.
"Hallo?"
"Kamu lagi ngapain sekarang?"
"Bengong aja, ga ada kerjaan. Kenapa, Van?" tanyaku pada Evan, penelepon tersebut.
"Udah makan belum siang ini?"
"Belum, ga ada makanan dirumah. Tadinya mau ke McD tapi ga ada yang bisa antar. Jadi ga tau juga sekarang."
"Aku beliin aja, ya?"
"Ga usah, ngapain?" Aku mengerutkan alis bingung. Sebenarnya mau, tapi itu tidak boleh dilakukan! Pamali, pacar saja bukan.
"Aku ga lagi bercanda tau. Ini aku pesen go-food buat kamu."
"Hey, bercanda aja. Jangan serius. Kamu bikin aku ada utang budi!"
"Udah ya aku tutup, nanti jangan lupa ambil pesenan gojeknya kalau udah sampe."
Lagi-lagi aku hanya bisa di buat senyum-senyum tidak jelas.
Bagi orang mungkin aku tampak seperti remaja yang baru di mabuk asmara. Itu benar. Tapi jika kita berada dalam posisi itu sendiri, rasanya berbeda. Sesuatu yang dianggap geli oleh orang yang lebih dewasa, tapi terasa romantis bagi aku yang merasakannya.
🕊
Lagi-lagi pelajaran olahraga. Pelajaran yang begitu dibenci sebagian murid. Apa lagi yang mengajar adalah Pak Faizal, guru yang notabene suka sadis kalau memberi tugas. Contohnya lari keliling sekolah sebesar delapan hektar ini sebanyak tiga kali putaran.
Aku yang berlari kecil saat memulai mengeliling sekolah baru menyadari jika tidak membawa karet rambut sama sekali.
Aku menyenggol lengan Laura yang berlari kecil di sebelahku. "Lau, bawa kuncir lagi, ga?" tanyaku dengan suara sedang.
Gadis itu menggeleng, "cuma bawa satu, yang lagi aku pakai," ujarnya sambil menunjuk kearah kuncir yang dia pakai.
Aku mendesah berat, bisa-bisa gerah bukan main jika rambut panjangku tidak dikuncir.
Namun lagi-lagi Evan datang seperti sosok heroine dalam kisah novel. "Ini kuncir," ujarnya sambil menyodorkan satu kuncir hitam padaku.
"Buat aku?" tanyaku kikuk sambil menunjuk diri sendiri.
Evan merotasikan bola matanya malas. "Iya lah, La. Masa buat pak Faizal? Dia 'kan, botak."
Laura tertawa kencang, rupanya dia menyimak obrolan kami.
Aku menerima kuncir itu dan memakainya. "Oh ya, makasih udah di kasih. Entah kamu dapet dari mana," ujarku pada Evan.
"Sayang ga sama yang kasih?" godanya, membuat bulu kuduk Laura berdiri merinding.
Aku mengangguk, "sebagai temen."
Evan mendecak kesal sejenak, ekspektasinya dibawa terbang tinggi lantas dijatuhkan dalam sekejap.
"Omong-omong, kamu seksi waktu kuncir rambut," godanya lantas berlari meninggalkan kamu secepat kilat.
Aku dan Laura saling melempar pandang kikuk. Kami menyengir canggung sebelum kembali fokus pada kegiatan siang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavender's diary
Teen Fiction[TAMAT - Part masih lengkap] "𝐃𝐮𝐥𝐮 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐝𝐞𝐤𝐚𝐭 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐞𝐫𝐣𝐨𝐲 𝐛𝐢𝐫𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐞𝐫𝐣𝐨𝐲 𝐦𝐞𝐫𝐚𝐡 𝐦𝐮𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐦𝐢𝐧𝐢𝐦𝐚𝐫𝐤𝐞𝐭, 𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠, 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐮𝐡 𝐒𝐮𝐫𝐠𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐁�...