Chapter 43 ☀︎ Dia tau

46 8 0
                                    

LAURA panik bukan main saat menyadari aku belum juga kembali saat pelajaran ptaktikum sudah akan dilanjut.

Apa Lavender hilang di culik SatpolPP?
Atau mungkin keasikan jajan Cilor? Ah itu seharusnya contoh untuk Laura.

Laura berjalan mondar mandir di depan meja belajarnya sendiri. Kuku gadis itu sudah di gigiti dengan cemas sedari tadi. Saking paniknya, Laura bahkan tidak menyadari jika Evan masuk dengan raut wajah tidak baik-baik saja.

Laura mengetuk-ketuk ponselnya yang masih dalam kondisi mati sementara hingga kembali menyala terang. Akhirnya Laura memutuskan untuk mengirimi Lavender pesan saja.

Laura kembali panik saat aku masih belum membaca pesan tersebut hingga guru praktikum memasuki kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Laura kembali panik saat aku masih belum membaca pesan tersebut hingga guru praktikum memasuki kelas. Mau tidak mau Laura memasukan ponselnya kedalam laci meja belajar. Mungkin sepulang sekolah akan dia lanjut, tapi masih ada tiga jam mata pelajaran lagi! Astaga, Lala!

🕊

Sudah setengah jam Laura mengelilingi sekolah. Dia mendatangi satu per satu tempat, mulai dari pos satpam hingga pedagang kaki lima di depan sekolah luas ini.

Keringat sudah membanjiri tubuh Laura. Mungkin badannya sudah tercium begitu kecut tanpa parfum yang dia pakai sekarang.

Raut wajah Kaura masih tidak jauh dari kata panik. Satu tempat lagi yang belum dia kunjungi, lapangan dalam, tempat yang tadinya hendak dikunjungiku pertama.

Alasan kenapa Laura tidak mencari tempat itu pertama adalah karena dia berpikir aku tidak akan berada di sana lagi.

Laura berlari kencang menuju destinasi terakhirnya. Berharap diriku akan ada di sana. Jika tidak ada, itu artinya dia harus mencari sampai ke rumahku sekalipun suapaya bisa tidur dengan nyenyak malam ini.

🕊

"Lavender! Kamu ngapain disini dari tadi?" pekik Laura panik. Perempuan dengan tinggi 168cm itu lari menghampiriku yang telah duduk di salah satu bangku lapangan. Nafasnya tersengal dengan banyak keringat membasahi.

Aku dapat merasakan suara nafas Laura yang cukup kencang. Aku rasa gadis itu hampir saja pingsan karena kehabisan oksigen.

Air mataku sudah mengering saat ini, bahkan mataku sudah sedikit membengkak. Aku duduk diam, tanpa mengeluarkan suara sekecil apapun meski Laura sudah menggoyangkan badanku atau meneriaki namaku seperti orang gila.

"LAVENDER!"

Aku akhirnya menoleh, menatap Laura, sahabatku.

"Kamu tu kayak orang gila nyet!, kamu ngapain sih?" omel Laura. Aku menunduk, menatap tali sepatuku yang sudah lepas. "Aku... putus," ucapku lirih.

Pikiranku kacau, untuk berucap dua kata yang menjelaskan bahwa aku sudah putus dengan Evan saja sangat berat dan butuh perjuangan.

Demi apapun, Laura kaget. Apakah sebegitunya dampak kata putus bagiku? Sampai-sampai aku seperti ini. Aku memang tampak seperti remaja gila baru putus cinta.

"Kamu waktu putus sama Jonathan ga sehopeless ini deh?" tanya Laura memastikan. Tangan gadis itu terletak di atas pundakku.

"Ini karena aku Lau, aku bodo, aku bodoh..." Air mataku kembali berjatuhan tanpa alasan. Aku terus menyalahkan diriku sendiri entah secara lisan atau dalam benakku sendiri.

"Aku egois," ucapku melanjutkan dengan pelan sambil memegangi dadaku yang sesak. Mengambil nafas sedalam apapun tidak bisa menghilangkan rasa pedih di hatiku.

"La, nangis nya di rumah aja, ya? Nangis di sekolah is a nother level of pain, you know right? Aku yang liat kamu aja ikut nangis, apa lagi jadi kamu yang ngerasain semuannya."

Aku mengangguk lemah, sebetulnya sudah cukup aku menangis di sekolah sejak jam sepuluh hingga jam sebelas. Sempat berhenti, namun Laura membuatku menangis lagi.

"Pulang kerumah aku aja, gapapa. Kamu bisa nangis sepuasnya di sana," jelas Laura pengertian.

Aku punya rumah, tentu saja. Tapi Laura menawarkan rumahnya karena dia tahu, aku tidak ingin keluargaku melihat.

Lavender's diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang