HARI ini merupakan hari pertama dengan jam kosong setelah tiga bulan lebih dimulainya tahun ajaran baru.
Selesai membereskan mejaku yang semula berantakan seperti tong sampah, aku memiringkan posisi dudukku, bergeser menyamping agar bisa lebih leluasa berbicara dengan Laura.
"Eh, La, guru-guru kenapa pada ribet sama rapat sih? Bentar lagi ada acara kah?" tanya Laura heran.
Aku mengendikkan bahu tidak tau. "Ga tau, Lau. Mungkin mau ngerencanain yang akan datang? Atau cuma bahas tentang rapor murid?"
Laura mengangguk paham. Kami berdua saling diam lagi, berusaha mencari topik. Setelah hampir satu bulan kami bermusuhan, lebih tepatnya aku yang menjauh, membuat kami menjadi canggung di beberapa kesempatan.
Lantas aku lihat Evan yang duduk di ujung bagian belakang kelas berjalan hendak mendatangi meja kami. Sepeti yang aku bilang sebelumnya, tahun ini aku sekelas dengan Evan dan Laura.
"Loh, kalian udah bener-bener baikan?" tanya cowo itu dengan senyuman geli. Bajunya tidak begitu rapi, setengah darinya keluar dari celana abu-abu yang di pakainya. Dasinya hilang entah kemana dengan kancing yang sudah terbuka dua.
Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Evan tadi. Laki-laki itu kemudian mengambil kursi di depan mejaku, dan duduk di sana.
Aku menghela nafas dalam saat kami bertiga hanya diam saling melempar pandang. Rasanya canggung.
Namun Evan akhirnya berdeham sebelum membuka pembicaraan lagi. "Ini ada apa sih? Kayaknya kemarin Jumat kamu baru berantem kecil sama Jonathan, terus kamu pulang sama Jonathan, diboncengin. Tau-tau hari Seninnya udah baikan sama Laura yang sempet absen beberapa hari karena sakit. Terus sekarang udah kayak dulu."
Aku menggaruk kulit kepalaku yang terasa gatal sambil memasang senyuman kaku. "Hehe."
Evan lagi-lagi tersenyum geli. "Aku kayaknya udah kelewat satu bab lebih deh. Kalian kenapa sih? Ceritain dong, kepoo," ujar laki-laki itu lantas sedikit manyun. Badannya dicondongkan agar lebih dekat dengan mejaku, berharap aku akan menceritakan semuanya.
Laura berdiri dengan gulungan kertas yang cukup tebal. Perempuan itu lantas memukul pelan pundak Evan. Evan mengaduh, namun dilebih-lebihkan. "Kamu itu kepo! Mana gayanya kayak mau genit sama Lala. Aku geli!" ujar Laura langsung tanpa memikirkan yang lain. Tentu itu bukan ucapan yang dibuat untuk menyinggung atau dengan alasan negatif lainnya, murni karena Laura geli.
"Udah ya, aku lupa, aku harus ke ruang guru. Ini mumpung ada jam kosong aku mau ketemu Bu Vivi, buat selesaiin laporan yang kemarin aku belum buat. Emang masuk rumah sakit ngerepotin banget! Jadi harus bagi waktu ngobrol buat ke ruang guru," gerutu Laura lantas meninggalkan kelas menuju ruang guru.
Aku kini hanya berdua dengan Evan. Aku kembali dengan bolpoinku yang tersisa diatas meja, memainkannya dengan bosan.
"Gimana? Udah pulih?"
Aku mengangkat kepalaku, dengan wajah bingung kutanya cowo di depanku, "maksudnya?"
"Yaa, kan kemarin sempet sedih banget karena patah hati. Sampe ga ada mood buat ngapa-ngapain."
Aku terkekeh kecil sambil menatap Evan. "Udah lumayan pulih. Masih sakit hati sih, soalnya 'kan, aku naksir Aron bukan cuma sehari-dua hari. Belasan tahun. Tapi aku berusaha buat berdamai."
Evan mengangguk setuju. "Emang lebih baik gitu, La. Emang kamu mau menua sama bayang-bayang Aron yang gitu?" tanya laki-laki itu dengan wajah sok tau.
"Hahaha, iya deh. Kalau Gracia gimana? Masih kamu sukai?" tanyaku balik dengan tujuan menerjang Evan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavender's diary
Ficção Adolescente[TAMAT - Part masih lengkap] "𝐃𝐮𝐥𝐮 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐝𝐞𝐤𝐚𝐭 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐞𝐫𝐣𝐨𝐲 𝐛𝐢𝐫𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐞𝐫𝐣𝐨𝐲 𝐦𝐞𝐫𝐚𝐡 𝐦𝐮𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐦𝐢𝐧𝐢𝐦𝐚𝐫𝐤𝐞𝐭, 𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠, 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐮𝐡 𝐒𝐮𝐫𝐠𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐁�...