KAMI bertiga sama-sama berlari histeris menuju ICU tempat Aron dirawat.
Aku menangis begitu keras dalam dekapan tante Lidya begitu sampai. Mataku mulai membengkak. Sedangkan Laura dan Jonathan, mereka panik bukan main. Bahkan untuk duduk saja mereka tidak bisa, terus mondar-mandir di depan ruang ICU.
Sementara Aron belum bisa dikunjungi, dan itu sangat berat untukku.
Setelah cukup tenang, aku bertanya pada tante Lidya. "Tante, Aron kenapa bisa begini?"
Mata tante Lidya ikut basah saat melihatku begitu. "Aron gapapa kok, sayang. Asmanya kambuh waktu di rumah ga ada orang. Untungnya tante pulang ga lama setelahnya, jadi Aron masih bisa selamat."
Aku mengerutkan alis, "memangnya Aron ga ada obat buat meredakan asma?"
"Obatnya di kamar, La. Saat kecelakaan, dia di dapur sendirian. Ini semua salah tante. Harusnya tante ga tinggalin anak semata wayang tante sendirian tadi."
Aku kembali memeluk tante Lidya yang tampak rapuh. Ketidak hadirannya suami tante Lidya karena ada pertemuan penting membuat tante Lidya mendapatkan kesedihan lebih.
Kami akhirnya menunggu berjam-jam, berharap Aron akan tersadar. Namun kenyataan berkata bahwa hari ini kami harus pulang tanpa membawa kabar baik. Aron belum sadarkan diri.
Aron, kapan kamu akan sadar? Jangan tinggalin aku, aku masih mau melanjutkan kisah kita, Ron. Ayo, tulis kenangan baru di buku diariku.
🕊
Ini sudah hari ke lima sejak Aron dinyatakan koma. Mata tampan itu masih terpejam rapat tanpa ada niatan untuk dibuka. Apa dia tidak ingin melihatku lagi?
Aku menatap sebuah keranjang buah yang tadinya aku belikan untuk Aron, urunan dengan Laura juga Jonathan.
Kami bertiga duduk diam di ruangan putih ini. Aku membuang nafas pelan, namun keadaan ruang yang sunyi membuat suara nafasku terdengar jelas.
"Aron pasti bangun kok, La. Kamu jangan negatif duluan," ujar Laura berusaha memberiku masukan. Aku mengangguk lesu.
"Kamu harus percaya kalo Aron masih mau lihat kamu," lanjut Jonathan.
Laura kini mendekatkan diri padaku yang duduk di sofa rumah sakit. Dia mengelus pelan pundakku sambil berucap, "aron sayang sama kamu, La."
Tangisanku pecah sekali lagi, namun tidak sekencang kemarin-kemarin. Aku mengusapnya kasar dengan punggung tangan. Hidungku memerah.
Jonathan bangkit dari duduknya, "kamu belum sarapan, La. Kamu ga lapar? Ini sudah hampir siang. Makan, yuk?"
Aku menggeleng pelan, "engga, Jo. Aron siapa yang jaga?"
"Biar aku aja. Kamu pergi makan sama Laura, ya?" mohonnya. Aku menatap Laura, begitu pula sebaliknya. Laura mengangguk kecil, memintaku untuk menyetujuinya.
Aku akhirnya mengangguk, perutku memang sudah lapar, tapi selera makanku hilang.
Kami berjalan berdua menuju kantin rumah sakit yang lumayan jauh dari kamar inap Aron.
Tidak ada pembicaraan yang tercipta. Aku hanya sibuk menatap langkah kakiku, sedangkan Laura menggandengku sambil mencari jalan menuju kantin.
Kami sampai, dan aku duduk terlebih dahulu sambil menunggu Laura kembali membawa makanan untukku.
Gadis itu cukup peka, dia membawakan aku bubur yang mudah dimakan dan teh hangat. Dengan senyuman tulus, Laura meminta ku untuk makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavender's diary
Ficção Adolescente[TAMAT - Part masih lengkap] "𝐃𝐮𝐥𝐮 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐝𝐞𝐤𝐚𝐭 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐞𝐫𝐣𝐨𝐲 𝐛𝐢𝐫𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐞𝐫𝐣𝐨𝐲 𝐦𝐞𝐫𝐚𝐡 𝐦𝐮𝐝𝐚 𝐝𝐢 𝐦𝐢𝐧𝐢𝐦𝐚𝐫𝐤𝐞𝐭, 𝐍𝐚𝐦𝐮𝐧 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠, 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐞𝐣𝐚𝐮𝐡 𝐒𝐮𝐫𝐠𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐁�...