Chapter 18 ☀︎ Menyendiri

118 20 0
                                    

AKU malas bedebat dan aku juga malas mengungkit masalah itu lagi. Tidak peduli dengan Laura yang sekarang telah kebingungan bukan main.

"La, kantin? Yuk?" tawar Laura setelah membereskan buku dan kertas-kertas latihan sejarahnya. Tangan kurus gadis itu berusaha menggandeng lengan tanganku yang masih terletak bebas diatas meja.

Aku tidak melirik kearah Laura, mataku terus terfokuskan pada papan tulis yang mulai dihapus oleh pengurus kelas lainnya.

"La, kamu sakit?" tanya Laura dengan panik. Gadis itu menunduk, menyamakan tinggi kami dan menaruh telapak tangannya di dahiku.

Aku menyingkirkan tangan Laura dengan kasar. "Kamu sendiri aja," tolak ku dengan suara pelan dan ogah-ogahan.

Laura mengerutkan alisnya, merasa dia tidak ada salah padaku sebelumnya. Bahkan gadis itu terus berusaha mengingat apa kesalahannya. Tidak sepenuhnya salah, karena memang Laura tidak tau jika aku mendengar sebagian percakapan mereka kemarin.

Ngomong-ngomong tentang kemarin, seusai istirahat Laura baru kembali ke kelas. Setelah bel pulang berbunyi pun, aku langsung meninggalkan Laura tanpa pamit.

"Kamu marah, ya? Soalnya kemarin aku pergi ga pamit sama kamu. Kalau yang itu aku minta maaf banget, La. Aku janji ga akan ulangin."

Aku membuang muka tidak peduli, lantas menenggelamkannya diantara lipatan tanganku di atas meja.

Aku menghela nafas dalam, berusaha menahan tetesan air mata yang hampit lolos saat mengingat kembali kejadian itu.

Laura meninggalkanku. Mungkin itu pilihan yang tepat juga. Dia tidak mungkin membujukku secara terus menerus, karena itu akan membuatku semakin marah.

Entah kemana Laura sekarang, aku tidak peduli, dan aku tidak memiliki tenaga untuk menanggapi lagi.

🕊

"Jo!" pekik Laura dari ujung lorong saat melihat Jonathan sedang berjalan sendiri.

Jonathan menghentikan langkahnya, lantas menoleh ke belakang, mendapati Laura yang melambaikan tangan kearahnya.

Jonathan berlari kecil menghampiri Laura yang berada tidak jauh dari posisinya.

"Kenapa? Mau ikut aku ke perpustakaan?" tanya Jonathan.

"Perpus? Sejak kapan kamu suka perpustakaan?" tanya Laura sedikit meledek.

Mereka kini berjalan beriringan. Keduanya saling menatap lorong yang panjang dengan beberapa murid berlalu-lalang.

"Aku mau balikin buku yang dipinjam sama Bu Endang. Nyebelin tau, masa aku yang disuruh-suruh," Jonathan memajukan bibir bawahnya kesal.

Laura yang sempat tertawa pun langsung mengibaskan tangannya di depan wajah. "Lupain tentang perpus. Aku mau tanya tentang Lavender, Jo."

Jonathan sontak menoleh kerah Laura, "kenapa? Ada berita baik?"

Laura menggeleng pelan lantas menunduk, melihat lantai keramik sekolah yang masih mengkilap. "Engga, berita buruk malahan. Lala marah sama aku, tapi aku ga tau kenapa, aneh, kan?"

"Emangnya terakhir kalian ada konflik apa? Ga mungkin Lala marah tanpa alasan," ujar Jonathan berusaha membuat Laura ingat dengan permasalah terakhirnya.

"Ga ada kok, cuma kemarin aja. Aku pergi waktu jam istirahat tanpa pamit."

"Itu salah sih, ya pantes aja Lala marah, Lau. Kamu tunggu aja sampe besok. Minta maafnya juga jangan lupa."

Laura meringis tipis, "gara-gara itu ya. Habis aku panik, kemari aku di chat orang, dia nyuruh aku cepet-cepet juga, Jo."

"Se panik-paniknya lebih baik pamit lain kali. Kalau udah berantem gini 'kan, malah repot."

Lavender's diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang