Chapter 31 ☀︎ kita belum selesai

74 12 1
                                    

CUACA tempat ini tidak terlalu bagus. Anginnya kencang, membuat rambutku sedikit berterbangan.

Entah bagaimana caranya aku bisa berasa dalam sebuah taman yang tanpa ujung.

Aku menatap sosok cowo yang berada di sini, menemaniku di luasnya taman.

Aku menghampirinya, aku tau siapa dia, dan aku merasa aman di dekatnya. Aku duduk di samping cowo tersebut tanpa berkata-kata.

"Kita dimana?" tanyaku berusaha mencari petunjuk.

"Alam bawah sadar kamu, La," jawab cowo tersebut.

"Terus mau kamu apa? Kenapa ada disini?" tanyaku bingung sekaligus takut. Karena sudah lama aku tidak memikirkan sosok laki-laki tersebut.

"Karena kita belum selesai!" ujarnya dengan suara yang mengeras.

"Ha?" tanyaku cengo, nafasku mulai tidak berperaturan. Tanganku berubah dingin dengan degupan jantung yang lebih kencang.

"Kenapa kamu lari? Kenapa kamu justru pergi sama Jonathan? Kenapa?" tanya Aron sambil menatapku dengan marah.

"Y-ya, terserah aku dong!" aku masih berusaha untuk membela diri hingga saat ini.

"Jawab yang bener! Kamu jangan terbiasa ga jujur!" Aron mengeraskan rahangnya, membuat wajah itu terlihat galak dan menakutkan.

Aku terkejut dengan ucapan Aron. Aku sempat membeku beberapa detik hingga aku tersadar dan memberontak, "SIAPA YANG GA JUJUR? KAMU MAU AKU JAWAB? Oke, aku jawab. Setelah kamu hancurin ekspektasi sekaligus perasaan aku terhadap kamu, kamu harap aku apa? Aku maafin kamu dan tetep kejar kamu kayak orang ga waras? Jangan harap, Ron!"

"Tapi-" ucapan itu aku potong seenaknya, "tapi apa? Buat apa kamu kayak gini, kalau ujungnya kamu sakitin aku lagi juga!"

"Aku kayak gini karena aku sayang sama kamu, La! Aku sayang! Aku ga mau kehilangan kamu." Aron mengambil nafas dalam, kini suaranya mulai tenang. "Setelah kamu pergi, aku cuma butuh waktu tiga hari untuk sadar kalau apa yang aku lakuin ke kamu itu salah. Salah besar, La."

"Maksud kamu?"

"La, semua itu soal waktu. Dan ada rahasia yang hanya bisa di ketahui seiring berjalannya waktu." Wajah Aron berubah sayu dan seperti tidak bertenaga, entah apa alasannya.

"Terus? Kamu mau apa? Mau aku putus sama Jonathan?" tanyaku menantang Aron.

"Iya!"

"Kenapa, Ron?" "Karena kamu mau lihat aku terus tersiksa setelah kamu hancurin? Kamu ga ijinin aku punya yang baru apa gimana?" pertanyaanku menunjukkan bahwa aku marah. Ekspresi wajahku sudah tidak terkontrol lagi, aku sangat marah.

"Bukan, bukan karena itu. bahkan jika aku harus mati tanpa jadi pendamping hidup kamu, aku rela, La, karena emang aku sayang sama kamu. Aku juga ga mau kamu terus terikat sama aku."

"Jadi intinya apa? Omongan kamu itu belibet, Ron! Susah dipahami dan muter!" ujarku sejujur-jujurnya.

"Kamu ga bener suka sama Jonathan, ya, kan?"

"HAH!" aku terbangun dengan banyak keringat yang membasahi tubuhku. Padahal cuaca tengah pagi ini begitu dingin. Ditambah pendingin ruanganku yang masih menyala.
"Pantes aku bisa berani ngomong kayak gitu, ternyata mimpi," ujarku bermonolog.

Pikirku kembali melayang pada potongan mimpi yang aku dapatkan. Aku lekas memukul kepalaku sendiri, "bodoh! Katanya udah ga mikirin dia. Tapi kenapa malah masuk mimpi?"

Aku menghela nafas dalam lantas membersihkan keringat dahiku. Aku menatap jam dinding yang terus bergerak, menunjukkan pukul setengah empat pagi.

"Tapi, aku rasa Aron ga salah. Apa aku bener-bener suka sama Jonathan?" tanyaku bermonolog.

🕊

Aku menemui Jonathan di taman sekolah seusai membuat janji pagi ini.

Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dan aku memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan ini.

Benar kata Aron dalam mimpi, aku tidak benar-benar menyukai Jonathan.

Oke, sekarang aku merasa telah menjadi orang terbodoh sepanjang histori hidupku.

Jonathan menghampiri ku dengan wajah sumringah. Entah ala ya ga ada dalam otak laki-laki tersebut.

"Gimana, La? Kita udahan, kan? Kita bisa balik pacaran lagi?" tanya cowo tersebut dengan senyuman.

"Iya, kita udahan aja, Jo. Udahan sama hubungan ini. Aku mohon terus seperti seminggu ini, ya? Jangan canggung dan jangan rubah pertemanan kita. Makasih buat waktunya." Aku tersenyum pahit sebelum meninggalkan Jonathan begitu saja.

Aku tidak memberika jeda untuk Jonathan berbicara atau menanyakan pertanyaan dalam otaknya.

Maafkan aku, Jo.

🕊

Aku kembali ke kelas dengan raut masam. Laura menghampiriku, dan mulai bingung.

"Kamu kenapa? Habis kena marah guru?" tanya Laura kepo.

Aku menggeleng, sebenarnya malas untuk membicarakan ini, namun aku rasa ini perlu. "Aku udah ada ada hubungan pacaran sama Jonathan."

Laura membulatkan matanya sempurna. "Ka-kalian putus?" Laura membekap mulutnya sendiri menggunakan telapak tangannya.

Aku mengangguk. "Jangan bahas ini sekarang. Lagi ga mood."

Laura menunjukku, "kamu hutang cerita sama aku, La!"

Aku melirik ke arah meja ku di kelas. Disana terdapat sebuah roti bolu yang bisa aku makan. "Siapa yang kasih?" tanyaku pada Laura.

Gadis itu mengendikkan bahu. "Ga tau, aku baru balik dari toilet juga."

"Ada catatannya, Lau," ujarku memberi tahu. Lantas aku ambil catatan tersebut dengan rasa penasaran.

"2004 itu siapa, Lau, kamu tau?" tanyaku sambil menatap Laura

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"2004 itu siapa, Lau, kamu tau?" tanyaku sambil menatap Laura.

"Orang kelahiran 2004 mungkin?" Laura menatapku sama bingungnya.

"Kelahiran tahun segitu masih SMP, Lau. Aku ga ada masalah sama anak SMP," ucapku berusaha menyakinkan.

"Ga tau ya, La. Ga bisa nebak. IQ aku rendah." Laura menepuk pundakku sebelum pergi meninggalkan ku.

Aku melirik ke sekitar, berusaha mencari jawaban, namun tidak ada.

Aku membuang nafas kasar. "2004, kamu siapa sih? Jangan bikin pusing."

🕊

Menurut kalian?
2004 itu artinya apa?

Lavender's diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang