Chapter 46 ☀︎ mengulang

57 7 0
                                    

"LA, ngopi sebentar, yuk?" ajak seorang perempuan dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima. Namun aku menggeleng.

Perempuan yang aku sebut 'si super ekstrovert' itu memajukan bibir bagian bawahnya karena aku menolak ajakannya.

Bukannya aku tidak mau pergi dengannya, hanya saja dia akan pergi dengan beberapa teman lainnya. Aku merasa kurang nyaman, aku susah bergaul. Bagaimana jika nanti aku hanya akan menjadi patung pajangan di antara mereka yang heboh tidak tertolong?

Si 'perempuan ekstrovert' itu memang sungguh-sungguh ekstrovert. Bisa dibilang, setiap orang yang lewat akan dia sapa, dan kebanyakan kenal dengannya. Keren.

Aku menghela nafas dalam. Kini hanya ada aku dan beberapa orang yang tersisa di aula hotel ini. Aku sedang berada di acara penyambutan mahasiswa-mahasiswi baru.

Aku menyalakan ponselku tanpa ada niatan membuka kuncinya. Di sana ada fotoku dengan Laura dan Jonathan yang terpampang jelas sebagai foto layar kunci.

Tanpa sadar aku tersenyum. Aku membayangkan mereka yang sekarang pasti sudah memiliki teman baru di jurusan kuliah mereka. Ya, mereka memang begitu, mudah bergaul dan beradaptasi dengan cepat. Berbeda denganku yang mungkin membutuhkan waktu lama.

Aku menatap ke sekeliling aula ini. Namun mataku tanpa sengaja menangkap sosok Aron. Ya, laki-laki yang pernah datang dan pergi meninggalkan luka.

Mataku sudah sekali untuk beralih dari sosok itu. Kenapa dia bisa ada di sini? Kenapa aku tidak tahu jika Aron masuk jurusan management sama denganku?

Mata kami kini beradu tatapan. Dan aku kembali sadar sebelum mengalihkan pandangan ke sembarang arah.

Jantungku berdegup kencang, pikiranku tidak jelas saat ini.

Harapanku untuk segera di jauhkan kembali dengan Aron sirna ketika secara mendadak dia sudah duduk di sebelah kanan ku. Kursi yang sempat tidak ditempati namun sekarang telah ada orang yang duduk di atasnya.

Aku menelan salivaku dengan kasar. Aku hanya bisa menatap Aron dengan kikuk.

Laki-laki itu tersenyum hangat. "Hai, La. Udah lama ga ketemu. Di SMA juga jarang lihat kamu."

Aku mendelik sempurna. Di depanku ini benar Aron atau duplikat beda jiwa saja?

"E-eh. Ini beneran A-aron Junartha 'kan?"

Aron tertawa hingga matanya menghilang seperti garis melengkung. "Iya, La. Ini aku, Aron. Masa kamu udah lupa."

Aku membenarkan posisi dudukku agar menghadap kearahnya. Menoleh dalam waktu yang lama bisa-bisa membuatku sakit leher nanti malam.

"Kok beda banget, Ron?" Aku bahkan sempat berpikir, apakah sekarang aku sedang bermimpi atau mengalami transmigrasi seperti pada dunia novel?

"Maksudnya?" tanya Aron bingung.

Aku menggeleng sejenak, berusaha mencari kata yang tepat untuk diucapkan.

"Besok bareng aku aja, gimana? Kelas bareng."

Aku kembali mendelik. Astaga! Susah dipercaya. Sejak kapan Aron berubah?

Kenapa sekarang dia begitu banyak bicara. Seberapa banyak rahasia tentangnya yang aku belum ketahui?

Aron yang dulunya hanya membalas secukupnya. Entah itu 'iya' atau 'tidak'.
Namun sekarang dia mengajak bicara aku? Dia yang membuka topik?

Aku sedikit memiringkan kepalaku, "kok kamu beda sama waktu SMA, Ron?"

"Ya..., aku harus cerita sama kamu?" tanya Aron dengan senyuman miring.

"Engga sii, tapi aku kepo aja."

"Besok pulang ngampus, makan bakso sama aku, mau?" tanya Aron mengalihkan pembicaraan.

Aku mengerutkan alis. Sudah pasti ini ada sesuatu! Kenapa bisa seperti dunia novel yang bisa berubah sifat dalam sekali jentikan?

"Lah? Kok kebalikannya Aron banget? Kamu Aron beneran?" tanyaku secara bereretan. Jujur saja, di dalam otakku sudah ada pertanyaan yang jauh lebih banyak namun tidak bisa aku sampaikan.

Aku terkekeh, dia mengembalikan topik pada topik yang seharusnya kami bahas, "jadi gimana? Mau makan bareng ga?"

Aku menggeleng secara refleks, "aku berangkat naik mobil. Masa ditinggal di kampus?"

Aron tampak berpikir sejenak, "kalo gitu makan depan gedung aja. Bakso kaki lima gitu? Jadi ga harus naik mobil."

Aku tersenyum menatap Aron yang sikapnya sudah berkebalikan. "Oke deh. Besok."

🕊

"GILA! Aron gila!" aku berteriak pada Laura lewat sambungan telefon hingga Laura sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Apa sih? Lagi makan swike aja kamu ganggu!" pekik Laura gantian.

Aku mengangkat alis bingung, "bukannya ga suka swike?"

Laura tertawa kaku di seberang sana. "Bener sih. Kalo gitu ini lagi makan ayam bentukan kodok."

"Apasih! Tau ga? Aron tadi ajak aku makan bareng besok!" aku berucap dengan antusias tinggi.

"HAHHHH? MAKSUDNYA?" teriak Laura yang terkejut.

"Jangan teriak Lau!" pintaku sambil menutup pengeras suara uang ponselku miliki.

"Maaf, kaget, terus gimana?"

"Ya aku iyain," jawabku santai.

"Terus? Kok dia mau ajak kamu? Ga ada apa-apa 'kan?" tanya Laura lagi yang bertujuan untuk memastikan tidak ada yang salah.

"Menurut kamu?"

"Harusnya ga ada rencana jahat si, Aron baik kok."

"Terus?"

"Harusnya aku yang nanya, La. Terus kalian gimana?"

"Aron sekarang hangat banget Lau! Kamu ga bakal percaya deh! Beda banget tuh orang sama dulu!" ujarku berusaha meyakinkan Laura sekuat tenaga.

"Kamu juga beda dulu sama sekarang," jawab Laura membalikkan kartu.

"Bukan itu. Kalo dulu dia itu pendingin daging yang sampe bikin beku, sekarang dia itu penghangat ruangan di musim salju!"

"Kalau penghangat ruangannya dua puluh satu selsius juga sama aja. Masih dingin," Laura berucap jenaka.

"Tau deh, susah ajak bicara kamu." Aku berpura-pura marah.

"CANDAAA! Jangan di matiin!"

"Masih kangen? Udah bosen tau telefonan sama kamu!"

"Bearti besok ga jadi sama aku?"

Aku berusaha mengingat ada janji apa aku dengan Laura. Hingga beberapa saat kemudian aku baru tersadar oleh janji kami bertiga untuk pergi mencicipi restoran baru di dekat kampus Jonathan. "Oh iya! Astaga aku lupa kalo ada janjian."

"Yaa, udah ga usah dilanjut. Aku tau kok kamu mau ngomong apa. Nanti aku bilangin ke Jonathan kalo Lala lagi CLBK," Laura berusaha menggodaku.

"Laura!"

Hanya suara tawaan Laura yang aku dengar sebelum panggilan itu diputus oleh Laura sendiri.

Lavender's diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang