Chapter 42 ☀︎ Overthinking dan realita

50 9 1
                                    

"La, kantin?" tanya Laura. Sepertinya kantin sudah seperti surga dunia yang wajib Laura kunjungi setiap hari.

Aku menggeleng, "aku mau kelapangan dalam."

Laura memiringkan kepalanya sedikit, "ngapain? Mau main basket?"

"Ga tau, Lau. Feeling aja, kayaknya harus kesana." Laura mengangguk paham untuk merespon pernyataanku itu. "Terus kalau ternyata ga ada apa-apa?"

"Ya, pulang kelas?" jawabku yang membuat Laura tertawa. "Bener-bener kurang kerjaan."

"Ya udah, semoga beruntung!" lanjut Laura menyemangatiku. Gadis itu membuat tangannya agar berbentuk huruf L di udara, dengan telapak tangan yang dikepalkan kencang. (💪🏻)

"Kalau ga beruntung?" tanya ku iseng. Laura mengendikkan bahu, "ya ga beruntung lah. Paling nangis pulangnya," ujarnya jenaka.

"Dih!" aku memukul lengan Laura pelan sebelum pergi meninggalkan gadis itu di dalam kelas.

🕊

Lima belas menit aku menunggu di lapangan dalam, tidak ada satupun kejadian yang penting. Yang aku dapati hanyalah sekumpulan semut yang berjalan dengan formasi satu barisan. Atau burung yang entah bagaimana bisa tersasar, masuk kedalam lapangan.

Aku membuang nafas berat. Sia-sia waktu istirahatku untuk berada di sini.

Aku keluar lapangan dengan kondisi dahi yang sedikit berkeringat. Maklum, mengingat lapangan itu luas dan tidak memiliki pendingin ruangan.

Aku memutuskan berjalan mengelilingi depan sekolah terlebih dahulu ketimbang langsung mengambil jalan pintas untuk kembali ke kelas.

Mataku langsung mendapati sesosok laki-laki tampan. Yang aku yakini namanya adalah Nevan. Alisnya tebal dan tegas, wajahnya sangat tampan dan berkarisma. Terlihat galak dan tampan dalam sekaligus.

 Terlihat galak dan tampan dalam sekaligus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menggelengkan kepalaku saat sadar. Astaga, aku lupa, aku sudah ada pacar!

Aku kembali melayangkan pandang pada tempat lain. Mulai dari lapangan luar ruangan, air mancur, dan lahan parkiran.

Mataku kembali tertuju pada sosok lelaki tampan. Namanya Evan, sayang sekali dia sudah memiliki pacar. Aku membayangkan semua hal itu tanpa sadar, rasanya seperti orang mabuk, berjalan sambil melamun.

Namun aku lagi-lagi kembali tersadar. Badanku langsung tegap dalam hitungan detik. Aku menampar pipiku agar sepenuhnya kembali sadar. "Lah, kan, cewenya aku? Terus itu siapa yang jalan di sebelahnya?" Mataku langsung menyipit, berusaha mengenali siapa wajah itu. "Astaga, Gracia!"

Aku dengan segera menghampiri sejoli tersebut. Deru nafasku mulai berantakan, namun masih berusaha bertingkah normal.

"Evan," panggilku denhan serius namun masih beriringan dengan senyuman manis.

Lavender's diaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang